Semesta pagi girang
Menimang secangkir fajar,
Buah hati yang diseduhnya
Dari sebuah pengalaman semalam,
Bersama mentari dan bulan
Bersaksikan bintang-bintang.
Hanya jika zaman sudi menuntut
Agar kita mengimajinasikan diri, laksana filsuf.
Lantaran dalam liang nalar sesempit ini :
“mari sejenak mendefinisikan keadaan!”
Sebermula renungan meranumkan harapan.
Seekor sarayu menerbangkan bongkahan embun,
Selembut dinginnya, subuh-subuh menggedor pintu-poriku.
Nampak ia terjingkat dari kematian tahun lama,
Terbirit-birit menuju kelahiran tahun baru.
Serupa lilitan hidup manusia :
Berlarian dari takdir yang satu menuju takdir yang baru.
Serta lidah yang tak kelu-kelunya mencerca diri,
Agar senantiasa kita tersungkur pasrah.
Juga saraf-saraf yang memelihara kecemasan,
Setia menadah melestarikan harap.
Pada kantuk yang belum usai menyulam pelupuk
Terbelalak seketika netra dikupas paksa fajar.
Serta angan yang terus menggeliat di tengkorak
Juga tercecer seakan ingin kembali dipungut,
Mengepul seolah ingin kembali diseduh.
Sementara kilauan mentari semakin coba menghunus netraku
Agar segera kubergegas menyambang ke belakang
Menziarahi kembali perkebunan kalbu
Tempat tersubur kutanam renungan lalu.
Setiba akhirnya menjulang ke haribaan Tuhan
Yang sekiranya berkenan meranumkan buah harapan
Semanis tebu, sekuning nyiur.
Semolek lambaian palma; kepada lembayung barat kemarin,
Lantas menyapa kelahiran kizib-sidik timur dingin.
Sekiranya agar kubergegas membakar diri hidup-hidup
Di bawah kobaran lidah mentari,
yang menjilati sarayu ‘dua ribu dua puluh satu’,
Sehingga daksa serasa melepuh dan layu.
Demi mengepah asa di atas tanah darah penghabisan,
Membentang langkah di sepanjang hamparan bara aspal.
Juga terjingkat, menggeliat. ~ (DEW)
BIOGRAFI PENULIS
Lahir di Kediri, 01 Desember 1998. Berdomisili di Kab. Kediri. Hobi mendengarkan, membaca, dan menulis. Email dzik.roch@gmail.com. Ig : @_dzikroch.
No comments