Kerukunan antar umat beragama merupakan salah satu pilar utama dalam memelihara persatuan bangsa dan kedaulatan Negara Indonesia. Kerukunan sering diartikan sebagai kondisi hidup dan kehidupan yang mencerminkan suasana damai, tertib, tentram, sejahtera, saling menghormati, saling menghargai, tenggang rasa, gotong royong sesuai dengan ajaran agama dan kepribadian Pancasila. Kata kerukunan berasal dari kata dasar ‘rukun’, berasal dari bahasa Arab ‘ruknun‘ jamaknya ‘arkan‘ berarti asas atau dasar.
Masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat majemuk. Hal tersebut dapat dilihat pada kenyataan sosial yang semboyannya “Bhineka Tunggal Ika” (berbeda-beda namun tetap satu jua). Kemajemukan adalah realitas yang tidak terbantahkan di bumi nusantara. Agama, etnik, dan kelompok sosial lainnya sebagai instrumen dari kemajemukan masyarakat Indonesia bisa menjadi persoalan krusial bagi proses intregitas bangsa, karena kemajemukan sering menjadi sumber ketegangan sosial dan kemajemukan sebagai sumber daya masyarakat yang paling pokok untuk mewujudkan demokrasi.
Seperti halnya di Dusun Kaliboto Desa Kalipang, desa ini sendiri merupakan salah satu desa di Kecamatan Grogol yang terletak di Kabupaten Kediri Provinsi Jawa Timur. Di desa ini ditemukan adanya beberapa agama yang dianut oleh masyarakatnya, tetapi perbedaan agama yang ada di lingkup keluarga dan masyarakat di sana terjalin sangat harmonis. Sikap pluralis dalam wujud toleransi perlu dibutuhkan, tentunya dengan beberapa cara diantaranya dialog antar agama, gotong royong, dan berpegang teguh pada falsafat Jawa karena mayoritas warga Kaliboto adalah suku Jawa. Sumber etika agama yang diajarkan menunjukkan bahwa perilaku menerima perbedaan agama sangat penting karena semua agama sangat penting dan mengajarkan keselamatan.
Hubungan kerukunan antar umat beragama di Dusun Kaliboto ini merupakan hasil dari proses akumulasi panjang dan berkesinambungan pada struktur sejarah, ajaran agama, nilai kultural, dan aturan formal (negara). Hubungan antar umat beragama dalam masyarakat Desa Kalipang berjalan dengan baik, mereka memahami betul arti sebuah perbedaan. Bentuk hubungan antar warga berbeda agama terjalin dengan baik dalam berbagai bidang. Sedangkan manfaat hubungannya dapat menumbuhkan sikap saling menghargai, menghormati, menolong, lebih lanjut dapat menghindari perpecahan, memperkokoh tali silaturahmi, memunculkan sikap menerima, dan memberikan stabilitas dan kemajuan Desa Kalipang. Hal ini pun didasari oleh sifat dan karakter masyarakat Kaliboto sendiri yang inklusif, kolektif, dan mutual (saling menguntungkan). Faktor tersebut kemudian diturunkan pada upaya satuan tindakan dan tindakan sebagai manifestasi kerukunan. Upaya kerukunan tersebut kemudian diwujudkan dalam tindakan yang dapat dilihat ketika perayaan hari raya ketiga agama tersebut. Pada perayaan Idul Fitri, Natal, dan Melasti/Nepal, dimana masyarakat di Dusun Kaliboto saling bahu-membahu untuk merayakan hari raya tersebut.
Toleransi adalah bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapatan, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan dan sebagainya) yang berbeda atau bertentangan dengan pedirian sendiri. Jadi, toleransi adalah faktor esensi untuk menuju kedamaian dan kerukunan, meskipun begitu potensi terhadap timbulnya konflik pada tatanan hidup sosial sangatlah besar, terlebih lagi pada penduduk yang hidup dalam fakta keberagaman dalam keyakinan. Masyarakat yang hidup di Dusun Kaliboto telah lama hidup dalam perbedaan dan yang menjadi perbedaan mendasar pada masyarakat Kalipang adalah perbedaan agama pada masing-masing individunya, dimana perbedaan tersebut tidak hanya terdapat pada masing-masing warganya melainkan juga ada dalam satu keluarga. Misalnya ayah dan ibunya penganut agama Islam dan anak-anaknya menganut agama yang berbeda. Perbedaan tersebut tidaklah menjadikan mereka hidup dalam ketegangan sehingga menimbulkan konflik seperti yang sering terjadi pada dewasa ini yang banyak dilatar belakangi oleh isu perbedaan agama. Faktanya bahwa mereka yang berbeda dalam keyakinan dapat berinteraksi secara positif dalam lingkungan yang majemuk tersebut.
Agama adalah suatu ciri kehidupan sosial manusia yang universal dalam arti bahwa semua masyarakat mempunyai cara-cara berpikir dan pola-pola perilaku yang memenuhi syarat untuk disebut agama (religion). Agama dalam kehidupan manusia sebagai individu berfungsi sebagai suatu sistem nilai yang memuat norma-norma tertentu. Norma-norma menjadi kerangka acuan dalam bersikap dan bertingkah laku agar sejalan dengan keyakinan agama yang dianutnya. Agama sebagai suatu keyakinan yang dianut oleh suatu kelompok atau masyarakat yang menjadi norma dan nilai yang diyakini, dipercaya, diimani sebagai suatu referensi karena norma dan nilai itu mempunyai fungsi-fungsi tertentu.
Contoh toleransi yang masyarakat Dusun Kaliboto Desa Kalipang Kecamatan Grogol Kediri terapkan adalah pada saat menyambut Hari Raya Nyepi bagi penganut agama Hindu yang dilakukan secara bersama-sama dengan penganut agama yang lain. Sebagaimana masyarakat Hindu di belahan Indonesia lain, Hari Raya Nyepi juga diperingati oleh penduduk Dusun Kaliboto, Desa Kalipang Kecamatan Grogol Kediri, Jawa Timur.
Mulai dari pucuk perbukitan lereng Gunung Wilis dimana Pura Pandu Arga Thirta kokoh berdiri, berbondong-bondong ratusan penduduknya menggotong segala sarana persembahyangan umat Hindu, untuk diarak menuju persimpangan jalan masuk Dusun Kaliboto. Prosesi sembahyang menjelang Tahun Baru Saka ini dengan sangat hikmat dilaksanakan sesampai mereka di persimpangan Dusun Kaliboto. Tepat seketika matahari akan tenggelam sebelum pemeluk agama Hindu pulang guna untuk bersunyi-sunyi di kediamannya selama sehari semalam, ogoh-ogoh di bakar sebagai simbol pengusiran Buta Kala/semacam raksasa jahat pada zaman dulu dari lingkungan sekitar, agar aman dan terhindar dari mara bahaya. Yang menarik disini adalah ratusan warga yang membantu jalannya perayakan Nyepi di pelosok barat Kabupaten Kediri itu, padahal tidak semuanya beragama Hindu. Terdapat dua jemaah kepercayaan besar lain seperti Islam/Muslim dan Katolik, mereka semua kompak secara sukarela mengawal rentetan upacara demi menyukseskan perayaan. Dari sinilah dapat dibuktikan bahwa masyarakat setempat sangat menghargai atau toleran pada semua umat beragama.
“Mereka juga masuk dalam kepanitiaan peringatan Hari Raya Nyepi ini, kok,” kata Indro, salah satu pemuda pengarak ogoh-ogoh sembari menunjukkan pengarak lain yang beragama Katolik ataupun Islam, mereka semua bahu-membahu. Adapun ogoh-ogoh menyerupai monster nyamuk yang dinamai “Kala Jinglong” dengan harapan pada tahun baru saka ini akan terhindar dari semua wabah, yang dipilih dan dibuat melalui kesepakatan masyarakat perwakilan dari tiga lintas agama tersebut. Indro pun menegaskan bahwasannya laku itu amatlah lumrah di dusunnya. Di kawasan penghasil buah Mangga Podang ini, hanya tiga agama yang tumbuh subur sekaligus menjadi nafas peradaban masyarakat Hindu, Islam dan Katolik. Supardi selaku pemangku agama Hindu di Dusun Kaliboto ini. Ketiga agama ini bermukim di tiga wilayah yang berbeda. Pengikut Hindu mengembang di Bukit bagian barat berdekatan dengan Pura Pandu Arga Thirta. Umat Katolik berpusat di seputaran Gereja St. Yakobus Major Kaliboto wilayah utara Dusun. Sedangkan Masjid Kaliboto yang dibangun di tepian sungai sebelah timur Dusun adalah titik sentral jemaah Muslim. Seakan-akan memang nampak hidup mengelompok, namun guyup antar golongannya itu pada parktiknya jauh dari sayup-sayup. Tiap agama sekurang-kurangnya dianut oleh lima puluhan keluarga. Mereka hidup bergandengan dan menjunjung tinggi kerukunan antar sesama. “Makanya setiap tahun Desa Kaliboto merayakan tiga lebaran. Sekarang Nyepi sebentar lagi Idul Fitri dan Desember natalan. Tanpa terkecuali semua disambut dengan suka cita”, ujar Supardi selaku pemangku umat Hindu Kaliboto. Sebagai bagian dari kesatuan hati antar penghuni ataupun bentuk toleransi, mereka saling berkirim makanan dan kue setiap hari raya agama.
Masyarakat, agama, dan budaya berhubungan secara dialektik, ketiganya berdampingan saling menciptakan dan meniadakan. Ketiganya ada secara bersama-sama untuk menciptakan relasi. Keberadaan mereka tidak bisa mandiri tanpa berkaitan satu dengan yang lainnya, karena pengalaman manusia akan yang mutlak itu berbeda-beda maka sistem kepada yang mutlak itu juga berbeda-beda, tidaklah satu tapi beragam. Perasaan berkebudayaan satu termasuk semakin pentingnya nasionalisme yang menitik beratkan pada kesamaan yang dimiliki orang Jawa (atau bangsa Indonesia) ketimbang pada dasarnya secara teoritis dapat menciptakan suatu ikatan bersama, baik di antara anggota-anggotanya maupun dalam kewajiban-kewajiban sosial bermasyarakat. Agama sebagai sistem acuan nilai bagi sikap dan tindakan dapat mengarah pada peneguhan intregitas masyarakat, khususnya pada masyarakat yang beragama homogen dan memahaminya secara homogen pula. Membicarakan agama dalam fungsinya sebagai motivator tindakan manusia (sosial) berari mengulas kembali adanya perbedaan pandangan tentang agama yang disebabkan perbedaan pemahaman dan penghayatan seseorang. (EN)
Biografi Penulis
Khurotul Ainiyah seorang mahasiswa aktif program studi Psikologi Islam semester tiga IAIN Kediri. Untuk mengenai lebih jauh tentang penulis dapat menghubungi email pribadinya ainiyahkhurotul@gmail.com
No comments