Di Tuban, tentu tidak asing mendengar makam Mbak Jabbar. Bau semerbak setiap kali ziarah, katanya, bukan karena kembang yang ditabur di setiap rusuk makamnya. Bau harum itu bersumber dari tubuh beliau saat akan dimakamkan, tiba-tiba semerbak dan menyegarkan pada jamaah yang hadir ke pemakaman. Mbak Jabbar terkenal sebagai ulama yang mengenalkan agama Islam ke masyarakat Tuban pertama kali. Perjuangan dan keringatnya, menurut sebagian tokoh masyarakat, adalah gambaran ilmu yang dipancarkan. Sekelibat, ternyata ini bukan dongeng, nyata dan benar adanya.
Makam Syeikh Abdul Jabbar terletak diatas bukit Nglirip Singgahan, Tuban. Mbah Jabbar yang mempunyai nama asli Sumoyudo selain penyebar agama Islam di daerah Singgahan juga salah satu panglima perang melawan para penjajah. Banyak cerita yang beredar dari masyarakat termasuk di daerah saya tinggal, bahwa sosok mbah Jabbar salah satu musuh besar para kompeni. Hal itu juga dapat dibuktikan dengan adanya tempat yang keberadaannya tidak jauh dari rumah, tempat tersebut bernama Kedungbanteng yang berada di sisi utara sumber mata air Kerawak.
Kedungbanteng merupakan pusat persenjataan dan tempat penyimpanan barang-barang kerajaan. Selain itu tempat tersebut juga menjadi bukti bahwa mbah Jabbar menggunakan tempat itu sebagai tempat pertapaan sekaligus markas agresi Syekh Abdul Jabbar melawan kompeni Belanda. Sekarang tempat itu dijadikan wisata dan banyak pengunjung di waktu musim liburan karena air yang jernih dan banyak bebatuan besar di aliran air.
Konon katanya diwaktu mbah Jabbar wafat, saat akan dimakamkan jasad Syeikh Abdul Jabbar mengeluarkan bau harum hingga mengherankan penduduk sekitar. Dan bau harum yang dikeluarkan tersebut bisa dicium hingga di luar desa. Masyaallah tanda-tanda kebesaran Allah. Makam Mbak Jabbar tidak dibukan setiap hari, namun pada tanggal 17 Muharram bertemaptan dengan haul beliau. Namun hanya untuk ziarah di luar pagar makamnya, setiap hari dipersilahkan untuk melakukan ziarah.
Selain mbah Jabbar ada juga penyebar agama Islam di daerah Tuban yaitu Raden Makdum Ibrahim yang biasa disebut Sunan Bonang. Pastinya sudah banyak yang mengerti tentang Sunan Bonang. Sunan bonang merupakan tokoh penyebar agama Islam di daerah Tuban, dan adanya bukti dari bangunan masjid yang ia dirikan itu untuk memberikan pengajaran mengenai Islam kepada penduduk setempat. Dalam berdakwah, Raden Makdum Ibrahim sering menggunakan alat musik tradisonal yang disebut bonang. Bonang sendiri merupakan sejenis gamelan yang terbuat dari besi atau kuningan yang bagian tengahnya dibuat menonjol. Dan bila tonjolan itu dipukul dengan kayu yang lunak, maka timbullah suara yang amat merdu.
Nah, dengan adanya suara gamelan yang sangat mengasyikkan telinga, banyak masyarakat yang berbondong-bondong ingin menyaksikan dan mendengar lebih dekat. Dan setelahnya itu karena Sunan Bonang memang sangat cerdas, maka ia mempersiapkan sebuah kolam di depan masjid. Gunanya untuk setiap orang yang akan memasuki masjid agar membasuh kakinya terlebih dahulu. Setelah banyak yang berkumpul di masjid, Ia pun mengajarkan tembang-tembang yang berisikan ajaran Islam. Sungguh luar biasa pengajaran dari Sunan Bonang yang menyebarkan agama Islam melalui cara tersendiri.
Bukan hanya itu saja, Sunan Bonang juga selalu berdakwah di masjid dan banyak orang yang mendengarkan dakwahnya sehingga banyak yang menganut agama Islam, dan semakin lama banyak santri yang tersebar di berbagai daerah dan maupun luar daerah dan juga sampai luar kota. Sekilas, cara-cara ini adalah strategi dakwah yang murni kreatifitas sendiri, bukan menjiblak dari orang Barat maupun siapapun.
Salah satu bukti bahwa keberhasilan sunan bonang dalam berdakwah di daerah Tuban dengan adanya Masjid Agung Tuban. Di masjid Agung tersebut banyak nilai-nilai sejarah tentang Sunan Bonang. Sampai saat ini banyak masyarakat dari luar yang berziarah ke makam Sunan Bonang, terutama juga para santri yang berada di Tuban maupun santri dari luar Tuban.
Sampai saat ini, Islam di Tuban mempertahankan kekayaan yang ada, warisan para sunan dan ulama. Banyak pondok yang berdiri. Banyak di kalangan remaja desa maupun kota yang sangat berminat untuk mondok dan menjadi santri. Ternyata sekarang tidak hanya pada anak remaja tetapi juga banyak dari kalangan anak-anak sekolah dasar yang juga sudah menginginkan mondok. Selain pondok, ada juga TPQ yang setiap sore di pergunakan anak-anak di kalangan sekolah dasar maupun menengah untuk mengaji dan menghafalkan surat-surat pendek.
Muculnya goa yang dijadikan masjid dan dinamai dengan Masjid Aschabul Kahfi. Banyak juga di kalangan masyarakat menyebutnya dengan Masjid bawah tanah karena keberadaannya memang di bawah tanah. Masjid ini didirikan oleh seorang pemuka agama yaitu KH. Shubhan Al Mubarak. Masjid ini dulunya sebuah goa tempat pembuangan sampah masyarakat sekitar. Kemudian sang pendiri berinisiatif membersihkan agar tidak terlihat kumuh dan juga berinisatif untuk dijadikannya masjid sekaligus pesantren. Masjid ini memiliki arsitektur yang sangat menarik. Masjid ini memang dulunya kan goa jadi ketika masuk ke ruangan memang agak gelap karena bersumber dari lampu yang di dekorasi sedemikian rupa. Disetiap sisi masjid ini ditulisi dengan kaligrafi ayat-ayat Al-qur’an.
Masjid bawah tanah ini membuat hati merasa damai karena memang jauh dari kebisingan karena tempatnya memang di bawah tanah. Pasti orang yang mengujungi dan beribadah di masjid ini akan melihat betapa indah bangunan masjid Aschabul Kahfi karena di dalam masjid ada beberapa benda seperti hiasan dari batu marmer, serta ada juga ikon berbagai negara seperti bola dunia, dan untuk menghubungkan ruangan satu ke yang lain ada puluhan tangga yang terbuat dari marmer. Sungguh unik dan menarik sekali masjid ini.
Ulama dulu bukan hanya pintar berdakwah, ilmunya dalam, namun juga ahli arsitektur dan pandai mencari celah-celah untuk bersatu dengan Tuhan. Inilah potret Islam di Tuban, suatu proses beislam yang didapat dari perjuangan ulama dan sunan. Suatu perjuangan dengan cerdas menggabungkan Islam dengan tradisi. Suatu kecerdasan tingkat dewa –jika dalam agama Hindu- dalam memahami masyarakat. Salam…(@D)
* Penulis adalah Riza Afriana; penduduk Asli Singgahan-Tuban juga merupakan Mahasiswi Aktive IAIN Kediri (rizaafriana43@gmail.com)
No comments