WAWASAN ANALISIS; MEMBACA ISLAM PURITAN DI KEDIRI

0

Kita jumpai di masa lampau dan sekarang masyarakat bisa hidup tanpa sains, tanpa seni dan tanpa filsafat, tetapi kita tidak pernah menjumpai sebuah masyarakat hidup tanpa agama, itulah kata-kata seorang filosuf peradaban kebangsaan Aljazair bernama Malik Bennabi. Memang banyak filosuf modern seperti Karl Marx, Auguste Comte, Nieztche, hingga Setiphen Hawkings yang memprediksi bahwa agama akan punah dengan seiring semakin majunya pikiran manusia, akan tetapi kata-kata yang telah bergaung selama 300 tahun terakhir tersebut masih belum menunjukan tanda-tanda keampuhannya. Justru yang kita temukan manusia di era modern saat ini lebih membutuhkan dan membangun pondasi keagamaan mereka semakin kuat dibandingkan beberapa dekade sebelumnya.

Ahmad Syafi’i Mufid dalam bukunya Tangklukan, Abangan dan Kebangkitan Agama di Jawa, mengatakan bahwa kebangkitan agama selalu berawal dari wilayah perkotaan dan menyebar kewilayah pedesaan, serta lestari di wilayah pedesaan hingga akhirnya praktik-praktik keagamaan tersebut menjadi sebuah karakteristik daerah tersebut. Contohnya, dahulu praktik-praktik kesufian seperti Tariqah, bai’at, barjanzi, manaqiban dan  tradisi Tahlil, justru lahir dari wilayah perkotaan  dan dibawa oleh para ulama Islam tradisional melalui pondok pesantrennya disebarkan oleh para santri yang pulang ke desanya membawa tradisi-tradisi tersebut.

Di Kediri, Islam puritan seperti Al-Irsyad Al-Islamiyah, Persatuan Islam (Persis), Islam Manhaj Salaf (baca: Salafi-Wahabi), -kecuali Muhammadiyah-,   memang tidak sebesar kelompok Islam Tradisionalis, tetapi tanda-tanda kebangkitannya sudah mulai nampak jika dilihat dari sudut pandang Ahmad Syafi’i Mufid. Kelompok-kelompok Islam tersebut lahir dari wilayah perkotaan dan lestari di wilayah pedesaan Kediri – baik kota dan kabupaten Kediri. Contohnya Al-Irsyad Al-Islamiyah didirikan oleh Syekh Ahmad Soorkati tanggal 16 September 1914 di Jakarta (Batavia) yang bertujuan untuk memajukan pendidikan agama Islam secara murni di kalangan bangsa Arab peranakan – mereka mendirikan madrasah al-Irsyad, terutama di daerah pesisir, seperti Surabaya, Pekalongan, Tegal, dan Jakarta dalam bidang sosial dan dakwah Islam dengan dasar al-Qur’an dan al-Sunnah secara murni. Al-Irsyad di Kediri sampai saat ini berkembang di wilayah daerah Kaliombo dan muridnya pun bukan hanya keturunan Arab non-sayyid (keturunan Nabi Muhammad) saja tetapi dari semua kalangan. Meskipun saat ini Kaliombo termasuk wilayah perkotaan akan tetapi jika kita mundur kewilayah ini 10 tahun yang lalu merupakan wilayah Kota yang masih dipenuhi dengan kebun dan sawah yang jauh dari pemukiman warga.

Selain Al-Irsyad, ada Islam Manhaj Salaf atau lebih dikenal istilah salafi, yang menunjukkan perkembangan cukup signifikan. Awalnya di Kediri Manhaj Salaf justru hadir di wilayah  pinggiran seperti Pondok Pesantren Al-Qudwah di daerah Susuh Bango Kecamatan Ringinrejo, Ponpes Al-Mansur Al-Mansur di Wilayah Tegowangi Kecamatan Plemahan, Ponpes Ar-Rosyad Bogem Kecamatan Gurah, hingga  Ponpes Imam Muslim Al-Atsariy di Kaliombo Kota Kediri –sama seperti halnya Al-Irsyad Ponpes ini awalnya berdiri di tengah-tengah persawahan yang jauh dari pemukiman warga. Ponpes-ponpes tersebut merupakan episentrum dari penyebaran dan kebangkitan Islam Manhaj-salaf yang bertipe puritan dengan dibuktikan banyaknya komunitas Hijrah ber-manhaj salaf seperti Brother Jannah, Sister Jannah, dan Hijrah States memiliki Afiliasi dengan ponpes-ponpes tersebut.

Berbeda dengan Al-Irsyad, Persis dan Muhammadiyah, Islam Manhaj-Salaf merupakan golongan Islam Transnasional, yaitu kelompok Islam yang ideologi dan sebab musabab kehadirannya bukan karena gejolak dan didirikan oleh kalangan Pribumi. Penetrasi paham salafi ke Indonesia dilakukan melalui pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab. Ajaran Salafi masuk ke Indonesia melalui para sarjana alumni Timur Tengah, terutama mereka yang bersekolah di Universitas- Universitas di Arab Saudi dan Kuwait. Dua negara ini merupakan basis utama atau sentral gerakan Salafi seluruh dunia. Dua negara kaya minyak ini ditengarai sebagai sumber utama pendanaan bagi kelangsungan aktivitas gerakan salafi.

Hal ini dibuktikan dengan di Kediri maraknya ustadz-ustadz yang bergelar “Lc” memiliki hubungan erat dengan kelompok Islam manhaj salafi tersebut. Bahkan sempat terjadi ketegangan pada Oktober 2019 yang lalu di GOR Joyoboyo Kota Kediri dengan diadakannya acara “Brother Fest” (semacam festival komunitas hijrah) yang  memiliki afiliasi dengan Islam manhaj salaf dengan golongan Islam Tradisionalis –Ponpes-ponpes Nahdlatul Ulama. Meskipun akhirnya acara tersebut dibatalkan oleh Walikota Kediri, tetapi tetap dilaksanakan dengan sekala lebih kecil ditempat-tempat yang memang menjadi episentrum penyebaran Manhaj salafi ini, seperti café, mushola/ masjid dan beberapa sekolah yang bermanhaj salaf.

Faktor pendorong keberadaan pesantren-pesantren salafi tersebut yang paling jelas adalah karena adanya upaya globalisasi Islam Timur Tengah. Upaya tersebut sangat terstruktur. Hal ini dapat dibuktikan dengan argumentasi, pertama pemberian beasiswa terhadap umat Islam Indonesia oleh Arab Saudi untuk bersekolah di sana. Upaya ini sangat jelas yaitu mengkader umat Islam Indonesia mengamalkan dan menyebarkan manhaj salafi; kedua, pendanaan yang mengalir dari Arab Saudi untuk keperluan pengembangan jaringan dakwah dan pendidikan; ketiga, pesantren yang bermanhaj salafi menggunakan kurikulum dan bahan ajar dari Arab Saudi. Bahkan segala buku pedoman atas   terbitan dari kementerian pendidikan Arab Saudi. Setidaknya atas tiga hal ini menjadi alasan yang sangat kuat untuk mengatakan pesantren bermanhaj salafi bukan atas dasar internal masyarakat Islam Indonesia. Melainkan untuk membangun keberagamaan Islam ala Arab Saudi.

Akan tetapi perlu diketahui tak semua Islam bermanhaj salaf tersebut memiliki sikap eksklusif dan rejeksionis. Ada dua model pesantren yang dikembangkan. Pertama, model pesantren eksklusif, yaitu pesantren yang hanya mengembangkan ilmu pengetahuan Islam dan ditambah sedikit pengetahuan umum yang dasar yaitu pelajaran bahasa Indonesia dan matematika. Pengetahuan umum dasar hanya sekedar memberikan bekal pengetahuan dalam berinteraksi kepada masyarakat, dan selebihnya tidak. Model pesantren yang seperti ini dikembangkan oleh kelompok salafi puritan yang eksklusif (puritan rijeksionis). Di Kediri pesantren ini diterapkan oleh Ponpes Al-Mansur Kediri.

Kedua, Model yang kedua yaitu pesantren yang cenderung inklusif. Pesantren ini selain mengajarkan ilmu-ilmu Islam juga ilmu-ilmu umum misalnya pendirian sekolah Islam terpadu (IT). Mulai pada level pra sekolah hingga perguruan tinggi, yakni TK Islam terpadu (TK IT), SD IT, SMP IT, SMA IT, dan pendidikan tinggi (ma‘had ‘ali). Materi pendidikan TK IT-SMA IT adalah mengacu pada kurikulum pendidikan nasional dan pengajaran doktrin manhaj salafi. Pesantren model ini dikembangkan kelompok salafi puritan yang kooperatif. Pesantren yang  memiliki ciri ini adalah Ponpes Imam Muslim Al-Atsariy Kota Kediri.

 Pada umumnya Siswa yang sekolah di pesantren manhaj salafi –baik yang puritan ataupun yang eksklusif- pun beragam. Ada yang memang dari keluarga salafi dan ingin anaknya menjadi salafi yang kaffah. Adapula yang berlatar belakang dari keluarga non salafi. Siswa yang berlatar belakang non salafi sejatinya tidak ingin menjadi anaknya salafi, melainkan motifnya adalah karena pendidikan yang diselenggarakannya bagus dan  profesional. Kedua, menghindarkan anak dari pergaulan yang bebas dan tercela. Karena orang tua yang sibuk dan tidak sempat mengasuhnya sehingga di sekolahkan di lembaga salafi karena sistemnya full day. ketiga,bertujuan menjadikan anaknya muslim yang baik. Jadi dengan factor-faktor tersebut dapat dilihat bahwa ternyata kelompok Islam puritan Manhaj salafi yang dikenal keras “oleh kelompok Islam tradisional” bisa diterima dan lestari di wilayah Kediri. Salam… (@D)

Mubaidi Sulaeman, S.Th.I, M.Ag*

Mubaidi Sulaeman, S.Th.I, M.Ag*

*Mubaidi Sulaeman adalah alumni IAIN Kediri, Editor handal pada penerbit ternama, juga merupakan konsultan penelitian (mubaidisulaeman@gmail.com)

About author

No comments