Membincang korupsi tentu tidak terbatas pada kesan buruk yang kita berikan kepada setiap pelakunya. Berbagai perspektif sebetulnya mampu menjadikan korupsi dikaji secara lebih ilmiah dan mendalam. Korupsi kita fahami sebagai aktivitas ‘mencuri’ yang bukan menjadi hak pelakunya, untuk kepentingan pribadinya. Imbas yang ditimbulkan adalah tercerabutnya hak-hak orang banyak karena dimonopoli oleh kepentingan personal maupun sektoral. Hal tersebut jelas merugikan mengingat dampak yang ditimbulkanya dapat lebih berbahaya dibandingkan dengan kejahatan fisik lainya, seperti pembunuhan, pelecehan seksual maupun kejahatan narkoba.
Judul tulisan bertemakan Agama Korupsi tentu memberikan efek kebingungan kepada pembaca. Tidak bermaksud menyatir kesucian kata agama, terminologi tersebut menjadi pengantar tajam bagi kita untuk bicara tentang korupsi. Agama dan pemeluknya, dipahami sebagai sebuah kolektivitas yang terorganisir. Didalamnya terdapat nilai-nilai yang diyakini oleh sebagai sebuah kepercayaan, keutamaan, sistem budaya dan pandangan hidup yang menghubungkan manusia dengan tatanan kehidupanya. Kemudian didalamnya kita meyakini keberadaan Tuhan sebagai causa prima yang kita jadikan sesembahan untuk kebaikan dunia dan akhirat.
Agama Korupsi
Meskipun terdengar terlalu ekstrim bagi sebagian orang, namun harus kita sadari bahwa kenyataanya korupsi kini telah menjadi agama baru. Hal tersebut tidak berlebihan jika kita kaitkan dengan fenomena korupsi yang kian massif. Korupsi telah menjelma menjadi Tuhan yang dipuja oleh banyak orang (koruptor), karena diyakini akan memberikan kesenangan, kemewahan dan kebahagiaan yang kekal. Selain itu korupsi membentuk dirinya menjadi sebuah kepercayaan yang membuat orang mabuk dan terbuai untuk meyakininya sebagai jalan hidup.
Sesungguhnya kita berkeyakinan bahwa tidak ada dalam ajaran agama manapun yang menghalalkan praktik korupsi. Agama anti korupsi memiliki pemaknaan yang bertolak belakang dengan Agama Korupsi. Deretan kata yang membentuk makna tersebut mengajari kita bahwa doktrin, ajaran, dan tuntunan agama menolak secara tegas praktik kejahatan korupsi.
Korupsi Menurut Islam
Hafidhuddin sebagaimana yang dikutip oleh Mansyur Semma dalam bukunya Negara dan Korupsi mencoba memberikan gambaran korupsi dalam perspektif ajaran Islam. Menurutnya, korupsi termasuk dalam perbuatan fasad atau perbuatan yang merusak tatanan kehidupan. Pelakunya dikategorikan melakukan jinayah kubro (dosa besar) dan harus dikenai sanksi dibunuh, disalib atau dipotong tangan dan kakinya dengan cara menyilang (tangan kanan dengan kaki kiri atau tangan kiri dengan kaki kanan) atau diusir. Hal tersebut jelas memberikan ketegasan kepada kita bahwa korupsi sangat dibenci oleh agama.Perbuatan nista tersebut dikonsepsikan oleh agama sebagai bagian dari kejahatan besar yang baginya wajib dikenai hukuman yang berat.
Dalam konteks ajaran Islam yang lebih luas, korupsi menurut Hadziq (2010) merupakan tindakan yang bertentangan dengan prinsip keadilan (al-‘adalah), akuntabilitas (al-amanah), dan tanggung jawab. Beberapa prinsip tersebut tentu lazim kita temukan dalam penyelenggaran pemerintahan. Mulai dari lingkup yang terkecil hingga tertinggi, beberapa prinsip tersebut terkadang tidak mampu dijalankan dengan baik oleh manusianya. Hasilnya adalah praktik-praktik menyimpang seperti korupsi, yang merugikan kepentingan masyarakatnya. Meskipun pada kenyataanya pelaku korupsi sebagaian besar adalah manusia yang terdidik dan beragama. Jika dilihat secara lebih jernih bahwa tidak ada keterkaitan keagamaan seseorang dengan akhlak yang dimilikinya.
Ajaran-ajaran agama memberikan tuntunan kebaikan, namun tidak semua pemeluknya melaksanakan. Oleh karena itu penting untuk memberikan diskursus untuk mencari solusi terbaik dalam menyelamatkan akhlak bangsa ini. Salah satunya adalah bukan dengan menjadikan korupsi sebagai sebuah agama baru, melainkan agama yang penting difahami secara baik dengan hati, fikir dan laku terpuji dan mulia.
Meruntuhkan Budaya Korupsi melalui Pendidikan
Kejahatan korupsi erat kaitanya dengan krisis moralitas dan akhlak pelakunya. Salah satu cara terbaik dalam melakukan revolusi akhlak adalah melalui jalan pendidikan. Dalam UU RI No. 20 Tahun 2003 memberikan definisi yang spektakular tentang makna pendidikan kepada kita. Pendidikan difahami sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.
Tujuan dari desain filosofis pendidikan kita sudah sangat baik dan mapan. Namun dalam realisasinya kita masih sering menemukan kemacetan antara konsepsi dengan realitas. Idealitas visi pendidikan nasional belum sepenuhnya mampu terinternalisasi dalam praktik kebijakan, kurikulum, perangkat belajar, hingga tenaga pendidiknya, utamanya terkait dengan visi pemberantasan korupsi. Kesiapan pendidikan kita untuk menyiapkan generasi penerus yang memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kecerdasan dan akhlak mulia mendapat tantangan yang serius dari penyakit yang bernama korupsi.
Betapapun masih banyaknya kekurangan dalam praktik pendidikan kita, penulis masih merasa begitu optimis bahwa jalan terbaik menyelasaikan korupsi adalah dengan pendidikan. Pendidikan yang concern dalam membelajarkan peserta didik secara proporsional penting untuk dilestarikan. Pembelajaran yang tidak hanya berbatas pada transfer pengetahuan belaka, melainkan pemupukan kecerdaan afeksi dan psikomotorik peserta didik. Kita sering bangga dengan peserta didik yang mendapatkan nilai ujian tinggi, namun kita lupa menyertakan perkembangan akhlaknya agar sama baiknya. Pendidikan harus mampu menyemai benih-benih unggul yang memiliki kecerdasan hati, fikir dan laku. Sehingga generasi penerus bangsa menjadi pribadi yang cerdas dan bermoral.
Perlu adanya kebijakan pendidikan anti korupsi dalam kurikulum. Penting disadari bahwa kurikulum kita belum mengatur secara eksplisit muatan-muatan nilai anti korupsi dalam mata pelajaran. Pada praktiknya pendidikan anti korupsi masih diintegrasikan dengan mata pelajaran yang ada di sekolah. Pendidikan anti korupsi sebagai mata pelajaran belum menjadi agenda pokok pemerintah. Berlakukanya integrasi tersebut pun hanya melalui program sekolah kebangsaan dan anti korupsi pada tahun 2013, yang bersifat seremonial.
Sehingga pendidikan agama dan nasionalisme menjadi mata pelajaran penting karena didalamnya mengajarkan nilai-nilai agama Islam, tuntunan dan ajaran-ajaran kemuliaan, termasuk perihal akhlak. Oleh karenanya menjadi urgen jika mata pelajaran tersebut diposisikan sebagai penyelamat dalam upaya pemberantasan budaya korupsi. Pembelajaran yang dilakukan merupakan usaha berupa bimbingan dan asuhan terhadap anak didik agar kelak setelah selesai pendidikannya dapat memahami dan mengamalkan ajaran agama Islam serta menjadikannya sebagai pandangan hidup.
Oleh karenanya menjadi relevan jika pendidikan anti korupsi mampu diintegrasikan secara sistematis dan konseptual dalam kurikulum pendidikan nasional. Kelemahanya selama ini, pendidikan anti korupsi belum berdiri sendiri sebagai sebuah disiplin ilmu yang harus dikaji oleh peserta didik. Selain itu, gagasan pendidikan anti korupsi integral dengan mata pelajaran lain belum memiliki panduan yang mapan dan ilmiah, sehingga sekolah dan guru mampu mengajarkanya dengan baik. Selama ini yang berjalan lebih menitikberatkan pada peran pendidik untuk berkreasi dan berinovasi dalam mensinergikan materi ajar dengan nilai-nilai pendidikan anti korupsi. Salam… (@D)
*Mohammad Andi Hakim, adalah Dosen IAIN Syekh Nurjati Cirebon, Founder Pesantren Literasi Gubuk Ilmu Sahabat Fikir (GISAF), Instruktur Nasional Moderasi Beragama Kemenag RI, Instruktur Literasi Nasional Kemdikbud RI.
No comments