MENELISIK PRAKTIK KESETARAAN DALAM BINGKAI PEDESAAN

0

Di muka bumi ini manusia ialah sebaik-baik ciptaan-Nya. Pemberian hal istimewa berupa akal pada diri manusia berfungsi untuk mempertahankan hidupnya dari segala macam rintangan dan halangan yang juga akan diberikan oleh Sang Kuasa. Dengan kemampuan berpikir, bertindak, berencana, berdasar akal itulah kemudian manusia mampu menciptakan berbagai inovasi teknologi. Pendayagunaan akal yang tiada henti ini dirasa mampu mengubah standar manusia hingga ke titik modernisasi ini. Dengan demikian hal tersebut menunjukkan bahwa manusia secara umum mampu untuk menjaga kehidupannya agar tetap berjalan terus dari waktu ke waktu dan mampu menjadi  sebaik-baik ciptaan.

Manusia merupakan makhluk yang berbudaya dan bermasyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa manusia tidak dapat hidup tanpa bantuan dari manusia lainnya. Pribadi manusia yang senang hidup berkelompok tersebut telah tertuang dalam teori seorang filsuf berkebangsaan Yunani yaitu Aristoteles (384-322 SM) yang mengatakan manusia adalah zoon politicon yaitu makhluk sosial yang menyukai hidup berkelompok. Pelabelan yang diberikan atas makhluk sosial atau berkelompok tersebut tidak lain sebab manusia tidak bisa hidup sendirian dan manusia hidup saling berdampingan, baik itu laki-laki maupun perempuan. Dalam kehidupan sosial, laki-laki dengan perempuan memiliki kedudukan dan porsinya masing-masing sesuai fitrahnya. Namun, ada kalanya laki-laki dan perempuan memiliki kedudukan yang sama di luar kondisi biologis dan kodratnya.

Perbedaan kedudukan manusia dalam ruang lingkup sosial menjadi landasan keberagaman budaya, sifat, sikap, peran, tanggung jawab, dan perbedaan lainnya. Keberagaman yang ini pada akhirnya menjadi dasar manusia senang berinteraksi, berkelompok dengan manusia lain dan pada akhirnya akan menimbulkan kesetaraan. Hal tersebut (kesetaraan) akan menjadi landasan harmonis atau tidaknya suatu lingkungan sosial, sebab di balik kesetaraan akan muncul ketidaksetaraan. Kesetaraan sendiri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah sejajar, sama tingginya, sama rendahnya, sama tingkatannya, sama kedudukannya, sama kualitasnya, sebanding, seimbang, dan lain sebagainya. Kesetaraan dalam sosiologi adalah suatu tata politik sosial dimana masing-masing orang memiliki status yang sama. Ini bisa dibilang kita semua setara dalam hak hukum, keamanan, hak kebebasan berpendapat, dan hak-hak lainnya. Kesetaraan melihat manusia sebagai orang yang memiliki derajat yang sama dan tidak terpengaruhi oleh status seseorang seperti ras dan suku seseorang, atau juga kekayaan seseorang atau besarnya kekuasaan yang dimiliki oleh suatu individu.

Keberagaman yang menimbulkan kesetaraan ini terjadi pada masyarakat Desa Tenggerkkidul Kecamatan Pagu Kabupaten Kediri. Senang berkelompok dengan berbagai latar belakang menjadi awal terbentuknya keberagaman. Dimana masyarakat di Desa Tenggerkidul mampu memahami arti keberagaman dan kesetaraan. Bagaimana tidak, mulai ulama hingga umat dapat melebur menjadi suatu umatan washatan (umat pilihan) dan umatan wahidatan (umat yang satu). Kesatuan inilah yang pada akhirnya membentuk pribadi masyarakat yang dapat mudah menerima masyarakat lain tanpa pandang bulu. Hal tersebut didukung dengan masyarakat desa ini yang mayoritas beragama Islam, bahkan keseluruhan penduduknya beragama islam. Walaupun demikian tetap saja ada nya perbedaan keyakinan mengenai pegangan yang biasa dibilang umat kanan dan umat kiri. Kesatuan agama yang dianut masyarakat desa ini tetap dibedakan dan beragam, yang menjadikan desa ini penuh keberagaman walau satu kepercayaan.

Jika dilihat dari mainstream besarnya Islam di desa ini terdiri atas dua varian, yakni Islam kultural dan Islam Politik. Pengertian Islam politik semata-mata didasari oleh semangat dakwahnya yang menginginkan terlaksananya ajaran-ajaran Islam menjadi hukum positif atau paling tidak pada setiap perundang-undangan. Sebaliknya, Islam kultural lebih memfokuskan gerakan dakwahnya pada pendekatan kultural sebagaimana yang dilakukan para wali songo di Indonesia. (Bakhtiar Efendy, 2001: 33-34). Islam yang dianut mayoritas masyarakat desa Tenggerkidul ialah islam yang banyak juga dianut oleh masyarakat kabupaten kediri, dimana salah satu figur populernya ialah Gus dur atau KH. Wachid Hasyim yang merupakan presiden RI keempat. Ajaran yang dianut tersebut dirasa cukup bisa masuk dan membaur pada kultur pedesaan terkhusus desa Tenggerkidul yang kental dengan keberagaman budayanya dan dirasa dapat menambah kesetaraan yang sudah melekat pada diri masyarakat desa ini.

Dalam perjalanan menjadi ulama, beliau (Gus Dur) mengungkapkan gagasan yang dapat menjadi ciri agama Islam yang sekarang berkembang semakin luas, yaitu gagasan Islam Kosmopolitan. Gagasan yang diruangkan dalam buku oleh gus Dur ini merupakan kumpulan pekmikiran yang didasarkan pada kondisi sosial dan politik bangsa ini. Dalam Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 10 No. 1 Tahun 2008 bahwa pemikiran gus Dur mengenai Kosmopolitan berakar pada berbagai peristiwa diantaranya; Hijrahnya Nabi Muhammad SAW ke Madinah bersama sahabat, ketika Nabi Muhammad SAW di Makkah kemudian berbagai konflik oleh kaum Quraisy hingga nabi mulai babakan kehidupan baru. Kosmopolitanisme peradaban Islam muncul dalam sejumlah unsur dominan, seperti hilangnya batasan etnis, kuatnya pluralitas budaya dan heteroginitas politik. Kosmopolitanisme itu bahkan menampakkan diri dalam unsur dominan yang menakjubkan, yakni kehidupan beragama yang eklektik selama berabad-abad. Dalam konteks inilah, warisan Nabi dalam penciptaan peradaban Madinah menjadi dasar utama lahirnya kosmopolitanisme peradaban Islam.

Gagasan Islam kosmopolitan semakin meneguhkan bahwa ke depan identitas umat Islam tidak lagi dapat dikotak-kotakkan ke dalam berbagai varian sosial dan politik yang bergerak di ruang yang sempit. Pada dasarnya gagasan kosmopolitan dibangun dengan dua prinsip dasar. Pertama bahwa setiap individu harus dilihat sebagai manusia. Islam menegaskan ini dengan istilah Khalifatullah fil ard. Bahwa manusia adalah khalifah di muka bumi. Dan sebagaimana yang terjadi di desa Tenggerkidul ini, masyarakatnya hidup berdampingan saling menjaga apapun disekelilingnya tanpa pandang  bulu. Dalam konteks tersebut, setiap individu dilihat sebagai bagian dari umat manusia tanpa memandang status apa pun yang tersemat dalam dirinya. individu menjelma menjadi umat yang terbentuk secara alami dan sederajat, maka manusia tidak dapat lagi dikelompokkan berdasarkan atribut artifisial seperti latar belakang organisasi atau profesi. Artinya, status sosial yang tersemat dalam diri seseorang tidak membuatnya lebih mulia dan mendapatkan perlakuan berbeda. Dan status sosial dalam desa Tenggerkidul ini hanya berlaku dalam ruang lingkup sistem pemerintahan desa. Dan terlepas dari itu semuanya kembali normal seimbang dan setara.

Harmonisasi antara modernitas dan spiritualitas, serta semangat melayani dan peduli terhadap manusia menjadi kata kunci dari kosmopolitanisme dalam ajaran Fathullah Gülen. Kosmopolitan mengindikasikan adanya sebuah nilai universal yang dianut dan diyakini oleh masyarakat dalam lingkup yang luas atau bahkan tanpa batas. Kosmopolitanisme merupakan harapan ideal tentang masyarakat tanpa perbatasan. Islam Kosmopolitan dalam pandangan Gus Dur ini merupakan gambaran islam yang mencerminkan kematangan dan keluasan wawasan serta pandangan dalam keberislaman individu. Kematangan dan keluasan tersebut dapat tercermin dalam keterbukaan sikap yang dengan sendirinya akan melahirkan sifat inklusif, moderat, toleran, seta responsif terhadap perubahan dan perkembangan zaman.

Dalam keberislaman masyarakat Tenggerkidul entah pemuda, remaja, hingga lansia ketika disejajarkan dalam acara desa seperti maulid nabi, doa bersama, dan lain sebagainya maka dapat melahirkan sifat yang terdapat pada gagasan Gus Dur. Yaitu Islam kosmopolitan yang menggambarkan kematangan dalam beragama hingga mewujudkan toleran antar aliran atau pegangan. Dalam berbagai keberagaman masyarakat desa ini tidak melulu akan mencapai titik kesetaraan dan toleran, ada kalanya salah satu dari kelopok berbeda pendapat mengenai suatu hal. Namun dengan luasnya pemikiran masyarakat juga kebiasaan toleran antar kelompok perbedaan-perbedaan yang terjadi tidak sampai menimbulkan perpecahan antar kelompok. Hal ini yang juga diingaikan Gus dur melalui gagasannya, bahwa dengan banyaknya etnis, suku, ras negara Indonesia maka secara tidak langsung masyarakat Indonesia terbiasa dengan perbedaan. Dengan banyaknya perbedaan yang mengilingi akan tinggi pula resiko konflik antar kelompok.

 Kosmopolitanisme merupakan harapan ideal tentang masyarakat tanpa perbatasan. Pernyataan tersebut dirasa cukup sesuai dengan kondisi masyarakat desa Tenggerkidul. Dan kenyataannya dalam lingkungan sosial, masyarakat desa ini tidak membedakan pangkat, derajat, dan status sosial ketika berinteraksi. Hingga mengenai kesetraan pun, masyarakat desa Tenggerkidul dapat mempraktikkan dengan baik. Seperti halnya peran dan fungsi antara laki-laki dan perempuan tidak banyak dibedakan antara keduanya. Peran dan fungsi keduanya di desa ini dapat berjalan seimbang selama tidak memberatkan salah satu diantaranya dan juga tidak mengubah peran dan fungsi secara kodrati (dari Allah).

Kesetaraan tersebut dapat dicontohkan melalui peran ayah dalam keluarga tidak semerta sebagai pencari nafkah melainkan juga berperan membantu kegiatan rumah tangga. Juga dalam pertanian banyak hal yang antara perempuan dan laki-laki disetarakan tanpa memberatkan. Kesetaraan ini merupakan sikap masyarakat desa Tenggerkidul yang tidak membatasi wilayah gerak antara laki-laki dan perempuan, terkhusus perempuan yang diberi ruang untuk bisa beraktifitas. Dan kesetaraan ini lagi-lagi tidak membedakan (pandang bulu) dan memberi batasan antara kelas-kelas sosial dalam masyarakat. Mudahnya masyarakat desa Tengger menerima keberagaman dan kesetaraan ini tak lain karena agama yang dipeluk, yaitu Islam merupakan agama yang bersifat unversal. Hal lain yang menjadi penguat keberagaman dan kesetaraan masyarakat Tenggerkidul ialah karena, desa Tenggerkidul ini tidak terlalu tersentuh pengetahuan modern.

Nilai dan prinsip universal dalam Islam harus tetap menjadi dasar atau landasan dalam setiap ekspresi keagamaan umat Islam di Indonesia terkhusus masyarakat desa Tenggerkidul dalam merespon perkembangan zaman tersebut. Dengan demikian Islam tidak akan kehilangan identitasnya serta mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman, kemudian mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman sehingga mampu menciptakan kosmopolitanisme peradaban islam. Selain itu, keber langsungan tujuan islam sebagai rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi seluruh alam) dan statusnya yang shalih li kulli zaman wa makan juga tetap terjaga hingga abad yang akan datang. Pemikiran-pemikiran diatas mengenai keberagaman dan kesetaraan umat Islam di Desa Tenggerkidul ini dirasa akan menjadi keseimbangan. Seperti dalam pendapat KH. Wachid Hasyim atau gus Dur bahwa kosmopolitanisme peradaban Islam akan mencapai titik optimal manakala terjadi keseimbangan antara kecenderungan normatif dan kebebasan berfikir semua warga masyarakat. Dan pada masyarakat Desa Tenggerkidul keberagaman yang menjadi pondasi kesetaraan dalam kurun waktu yang akan datang akan menjadi warna-warni dan bahkan identitas daerah. (EN)

Biografi Penulis

*) Ella Erlita Oktaviana

Ella Erlita Oktaviana merupakan mahasiswi program studi Psikologi Islam IAIN Kediri. Selain aktif kuliah, penulis juga aktif dalam organisasi Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU) dan Himpunan Mahasiwa Program Studi Psikologi Islam. Untuk mengenal penulis dengan lebih dekat silakan hubungi email pribadinya ellaerlita78@gmail.com.

About author

No comments