Tahfidz memiliki arti menghafal, kata menghafal berasal dari kata dasar hafal yang berasal dari bahasa arab yaitu hafidza-yahfadzu-hifdzan, yang merupakan antonim dari kata lupa. Menurut Wasty Soemanto mengingat berarti menyerap atau meleyakkan pengetahuan dengan jalan pengecaman secara aktif. Itu tadi pengertian menghafal secara etimologi, sedangkan menurut terminologi, menghafal memiki arti sebagai tindakan yang berusaha meresapkan sesuatu ke dalam pikiran agar selalu ingat. Menghafal merupakan proses mental yang menanamkan kesan-kesan tertentu dalam memori, yang suatu saat ingatatan tersebut dapat dipanggil kembali ke alam sadar. menurut Abdul Aziz Abdul Ra’uf definisi menghafal adalah “Proses mengulang-ulang sesuatu, baik dengan cara membaca ataupun mendengar. Pekerjaan apapun bila selalu diulang-ulang, pasti akan hafal.”
Kata Al-Qur’an secara bahasa berasal dari bahasa arab yaitu qaraa-yaqrau-quranan yang berarti bacaaan. Hal ini sesuai dengan Surah Al-Qiyamah ayat 17-18 yang memiliki arti “Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu”. Al-Qur’an adalah kitab suci umat islam yang diturnkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW secara berangsur-angsur melalui perantara malaikat Jibril. Kitab ini menjadi kitab terakhir setelah kitab Taurat, Zabur, dan Injil yang diturunkan Allah SWT kepada nabi dan rasul sebelumnya.
Maka dapat disimpulkan bahwa Tahaffudz Al-Qur’an adalah membaca Al-Qur’an dengan perlahan dan penuh perhatian, sebagai proses memasukkan Al-Qur’an ke dalam hati, dalam artian menghafalkan Al-Qur’an. Ini merupakan salah satu cara memelihara Al-qur’an.
Al-Qur’an memiliki fungsi sebagai pembimbing jalan hidup manusia di dunia, agar selamat dunia akhiratnya. Nabi Muhammad SAW bersabda, “sebaik-baik kamu adalah orang yang mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya”. (HR. Bukhari). Selain membaca, akan jaul lebih baik bila seorang muslim itu menghafal dan mempelajari isi kandungan Al-Qur’an, serta mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Adapun beberapa keutamaan yang akan didapat oleh seorang muslim yang selalu membaca Al-Qur’an sampai hafal dan mengerti isi serta kandungannya yaitu; termasuk dalam golongan manusia terbaik, mendapat penghormatan dari Rasulullah, kedudukan penghafal Al-Qur’an berada di akhir ayat yang dibaca, termasuk keluarga Allah ‘Azza wa jalla, ditempatkan di surga paling tinggi, mendapatkan pahala yang berlipat ganda, mendapatkan syafaat, terbebas dari siksa hati, memiliki cahaya lebih indah dari matahari, tidak akan pernah merasa hatinya kosong.
Agar dapat menghafal Al-Qur’an kita harus membacanya berulang kali, dan untuk melakukan hal itu kita harus istiqomah. Menurut Syekh Abdurrahman al-Sa’diy rahimahumullah dalam buku Meniti Jalan Istiqomah oelh Syekh Musnid al-Qahthany, istiqomah adalah melazimi ketaatan kepada Allah dan ketaatan kepada Rasul-Nya secara berkelanjutan. Salah satu keutamaan istiqomah adalah tidak ada rasa takut dan mereka tidak pernah merasa bersedih.
Bila dihubungkan dengan filsafat ideologis, ide adalah sesuatu yang berada dalam pikiran kita yang mendasari segala apa yang kita lakukan, kalau kita tidak memiliki ide, maka kita tidak dapat melakukan sesuatu. Dengan dasar ini dapat disimpulkan bahwa apa yang kita lakukan itu berkaitan dengan apa yang kita pikirkan. Bila dihubungkan dengan kegiatan Tahfidzul Quran atau menghafal Al-Qur’an maka seoranghafidzselain menghafal, juga harus mengerti dan memahami ayat-ayat dalam Al-Qur’an sehingga bisa mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Al-Qur’an menjadi ide bagi mereka yang menghafal dan mempelajarinya, sedangkan perilaku mereka adalah cerminan dari Al-Qur’an itu sendiri. Apabila sesuatu itu sudah dekat dengan kehidupan sehari-hari kita, maka kita tidak mudah lupa dengannya.
Berbeda halnya dengan seorang santri yang merangkap status sebagai seorang mahasiswa juga. Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa seorang mahasiswa pasti memiliki tugas yang banyak dan dituntut untuk bisa berpikir mendalam, entah itu tentang apa yang ia pelajari di bangku perguruan tinggi ataupun tentang bagaimana ia bisa membagi waktu. Seorang santri, apalagi hafidz yang berstatus sebagai mahasiswa harus ekstra dalam membagi pikirannya, jangan sampai karena keasikan menghafal Al-Qur’an ia jadi lalai dalam mengerjakan tugas kuliahnya.
Menurut Dila Alfiana, seorang santri di Pesantren Pelajar Al-Fath, yang berkuliah di IAIN Kediri Prod Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, semester tiga; “Memang susah dan merepotkan, apabila kita boleh mengeluh, tapi dengan Bismillahirahmanirrahim semua pasti bisa dilakukan”. Dengan niat dan tekad yang kuat untuk bisa menghafal ayat-ayat suci Al-Qu’an menjadikan seseorang itu istiqomah, sejalan dengan hadist nabi bahwa “segala sesuatu tergantung pada niatnya”.
Meskipun telah memiliki tekad dan niat yang kuat, cobaan bagi seorang hafidz akan tetap muncul dan hal yang paling susah dihadapi adalah untuk konsisten atau istiqomah dalam menjaga hafalan, “mengahafalkan saja pasti mudah, dalam waktu satu jam saja kita sudah bisa menghafalkan satu lembar ayat-ayat Al-Qur’an, tapi untuk menjaanya agar tidak hilang dan lupa, itu yang susah” celetuk Dila Alfiana di tengah-tengah wawancara. Cobaan yang paling sering dirasakan para hafidz adalah rasa malas yang tiba-tiba menyerang. Malas adalah keadaan dimana seseorang tidak memiliki gairah atau semangat untuk melakukan sesuatu, seseorang itu bisa tetap melakukan pekerjaannya namun dengan perasaan yang tidak senang dan pekerjaan yang ia lakukan cenderung tidak maksimal hasilnya, atau bahkan seseorang bisa meninggalkan pekerjaan tersebut dan tidak menyentuhnya sama sekali.
Ada banyak faktor yang menyebabkan seorang mahasantri (mahasiswa dan santri) malas dalam menghafal Al-Qur’an, diantaranya: ayat yang dihafal susah pelafalannya, ayat yang dihafalkan susah masuk ke dalam otak, sedang banyak tugas yang belum terselesaikan, target setoran masih lama. Meskipun begitu seorang hafidz tetap menghafal, apapun yang terjadi. Mereka memiliki cara masing-masing untuk mengatasi rasa malasnya, ada yang dengan refreshing, berhenti sejenak, ataupun dengan cara mencari teman untuk hafalan.
Ketika berada di pesantren tentu sangat mudah untuk mencari teman hafalan, sedangkan saat pandemi Covid-19 seperti sekarang para santri dipulangkan. Suasana di pesantren dan di rumah tentu saja jauh berbeda. Di pesantren para hafidz bisa memiliki rasa kompetitif dengan hafidz lain untuk menghafal Al-Qur’an, sehingga mereka dengan mudah menghilangkan rasa malasnya dan ingin segera menghafal lagi, namun saat berada di rumah mereka tidak memiliki perasaan kompetitif tersebut. Hal ini bisa diatasi dengan cara mengajak anggota keluarga untuk menghafal Al-Qur’an juga, entah itu adik, kakak, bahkan orang tua. Dengan begitu para hafidz bisa tetap memiliki rasa semangat untuk menghafal Al-Qur’an.
Selain mengatasi cara membangkitkan rasa kompetitif dalam menghafal Al-Qur’an, para santri juga memiliki kendala terkait banyaknya tugas kuliah. Sejatinya para hafidz dan hafidzah adalag manusia biasa, tentu mereka bisa merasa lelah ataupun suntuk dengan apa yang mereka jalani. Namun, dengan Al-Qur’an di hati mereka, mereka bisa mengatasi semuanya, meskipun berat, mereka tetap berusaha untuk melakukan yang terbaik.
Menurut Dila Alfiana; “kita harus membaca atau melelalar (mengingat kembali hafalan yang sudah dihafalkan agar tidak lupa) hafalan kita, tidak apa-apa bila hanya satu lembar atau satu halaman, setidaknya kita sudah menggugurkan kewajiban kita untuk menjaga hafalan”. Sedangkan bila menurut Ustadzah Fina, yaitu salah seorang santri di Pesantren Pelajar Al Fath juga, yang saat ini sedang berkuliah di IAIN Kediri, Prodi Tadris Bahasa Arab semsester tujuh, ia mengatakan; “kalau kamu merasa berat dengan tugas yang diberikan dosen, maka bacalah Al-Qur’an terlebih dahulu, sedikit pun tak apa, karena dengan begitu tugas akan terasa lebih ringan dan terasa lebih cepat selesai, merupakan salah satu fungsi Al-Qur’an adalah untuk menjernihkan hari kita, sehingga kita tidak merasa stress dengan tugas, tidak merasa kesal dengan dosen, semua akan terasa lebih mudah dengan Al-Qur’an yang kita bawa di kehidupan sehari-hari kita”.
Rasa malas, dan banyak tugas. Ada satu lagi yang membuat para hafidz dan hafidzah merasa kesulitan dalam menghafal Al-qur’an, yakni rasa bosan. Manusia pasti bisa sampai di titik dimana mereka meras jenuh, dan bosan dengan rutinitas yang mereka lakukan setiap hari. Tidak terlepas dari rutinitas menghafal juga. Bukannya bosa membaca Al-Qur’an, tetapi bosan karena rutinitas. Untuk itu para penghafal ayat suci ini terkadang melepaskan kepenatannya dengan cara melakukan hal lain, bisa dengan cara melakukan hobi yang lain, berkunjung ke tempat yang menyenangkan, ataupun hanya dengan cara tidur. Yang terpenting adalah mereka bisa me-refresh otak mereka agar bisa siap kembali untuk diajak menghafal Al-Qur’an.
Begitulah beberapa kendala yang dirasakan oleh para mahasantri. Lalu mengapa mereka masih bisa istiqomah meskipun banyak sekali kendala yang dihadapi? Mereka merasa memiliki tanggung jawab atas apa yang mereka perbuat, menghafal Al-Qur’an bukan lah perkara yang bisa dianggap enteng. Seseorang bisa mendapatkan dosa besar bila meninggalkan kegiatan itu ditengah jalan, lalu dengan sengaja tidak menjaga apa yang sudah ia hafalkan sehingga ia lupa. Tentu dari awal memutuskan untuk menghafal Al-Qur’an para mahasantri sudah mempertimbangkan resikonya, dan saat mereka sudah mulai menghafal berarti mereka sudah yakin dan percaya pada diri mereka sendiri, bahwa mereka bisa dan mampu melakukan hal ini, dan mengemban semua resiko yang mungkin akan mereka tanggung.
Memang berat, memang susah, memang melelahkan, tapi mereka terus meyakinkan diri mereka bahwa mereka mampu. Prinsip dari salah satu hafidzah yaitu Dila Alfiana adalah sebagai berikut; “tidak apa-apa kalau tidak sering menambah hafalan, yang penting apa yang sudah dihafalkan itu tidak lupa, masalah menambah hafalan itu bisa belakangan”. Ia juga mengatakan bahwa saat kita menghafal Al-Qur’an dan memahami maknanya, kita sama saja dengan membawa Al-Qur’an kemana-mana, dan meskipun tidak bisa totalitas, tapi setidaknya kita harus bisa mencerminkan Al-Qur’an itu sendiri dalam diri kita, dengan bagaimana kita berperilaku, bagaimana kita berbicara, dan bagaimana kita berfikir, semua harus berdasarkan Al-Qur’an yang telah kita pelajari.
Bagi teman-teman yang ingin memulai untuk menghafal Al-Qur’an, jangan ragu, jangan takut, mantapkan niat. Karena Tuhan pasti akan membantu kita, insyaallah jalan kita akan dipermudah, asal kita melakukan hal yang diridhoi Allah SWT. Yang penting kita ikhlas dalam menjalaninya, tanpa mengharap pujian dari orang lain, ikhlas hanya karena kita mencintai Allah SWT dan kitab suci kita yaitu Al-Qur’an.(EN)
Biografi Penulis
Emilda Fransiska Agustina seorang mahasiswi aktif program studi Psikologi Islam semester tiga IAIN Kediri. Memiliki pengalam berorganisasi di UKM Musik Amoeba IAIN Kediri, berposisi sebagai anggota devisi public relations masa jabatan 2020-2021. Untuk mengenal lebih jauh tentang penulis dapat menghubungi di e-mail pribadinya emildafrn31@gmail.com
No comments