NYADRAN, AKULTURASI BUDAYA JAWA YANG SARAT MAKNA

0

Indonesia adalah negara multikultural, negara yang di dalamnya terdapat ribuan pulau yang dihuni oleh berbagai suku bangsa. Setiap suku bangsa memiliki budaya yang beragam. Budaya merupakan cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh suatu kelompok dan diwariskan dari generasi ke generasi. Melalui kebudayaan, manusia beradaptasi dengan lingkungan dalam memenuhi kebutuhan hidup agar dapat bertahan dalam kehidupan.

Kehidupan manusia tidak bisa lepas dari kebudayaan. Dikarenakan manusia di satu sisi menjadi kreator sekaligus produk dari budaya tempat dia hidup. Hubungan saling mempengaruhi ini merupakan salah satu bukti bahwa manusia tidak mungkin hidup tanpa adanya budaya, begitupun sebaliknya. Kehidupan berbudaya merupakan ciri khas manusia dan akan terus berlangsung mengikuti alur zaman. Kebudayaan tumbuh dan berkembang dalam kehidupan manusia dan hampir selalu mengalami proses penciptaan kembali. Perkembangannya bisa berlangsung cepat dan juga berkembang secara perlahan tergantung manusia.

Sejarah mencatat bahwa perkembangan kebudayaan semakin mengalami akulturasi dengan berbagai bentuk kultur yang ada. Oleh karena itu, corak dan bentuknya diwarnai oleh unsur budaya yang bermacam-macam. Setiap masyarakat memiliki kebudayaan yang berbeda. Hal ini disebabkan oleh kondisi sosial budaya masyarakat antara yang satu dengan yang lain berbeda. Perbedaan tersebut berinteraksi secara terus-menerus menjadi sebuah norma yang kemudian ditanamkan dan diyakini oleh masyarakat. Kemudian  diwariskan kepada generasi-generasi selanjutnya.

Salah satu budaya yang mengalami akulturasi yakni tradisi nyadran. Nyadran merupakan tradisi unik yang dilakukan oleh masyarakat Jawa secara turun temurun yakni dengan berkunjung ke makam para leluhur untuk berdoa dan membersihkan makam. Tradisi ini merupakan hasil akulturasi budaya Jawa dan Islam. Dalam bahasa Jawa, Nyadran berasal dari kata sadran yang artiya ruwah syakban. Nyadran adalah suatu rangkaian budaya yang berupa pembersihan makam leluhur, tabur bunga, berdoa kepada leluhur. Seusai berdoa kepada leluhur, dilanjutkan dengan makan tumpeng bersama.

Secara bahasa, kata nyadran berasal dari kata sraddha yang berarti keyakinan. Tradisi nyadran bertujuan untuk menghormati para leluhur dan mengungkapkan rasa syukur kepada Tuhan. Nyadran menjadi tradisi yang penting bagi masyarakat Jawa dan hampir tidak pernah terlewat sampai saaat ini.

Tradisi Nyadran ini merupakan cetusan para wali saat menyiarkan agama Islam di tanah Jawa. Tradisi yang diajarkan wali semuanya baik dan mengandung unsur pemersatu untuk setiap perbedaan budaya di tengah masyarakat. Sebenarnya, nyadran berasal dari tradisi Hindu-Budha. Sejak abad ke-15, para walisongo melakukan akulturasi tradisi tersebut melalui dakwahnya, agar agama Islam dapat dengan mudah diterima oleh masyarakat. Pada awalnya, para wali berusaha meluruskan kepercayaan yang ada pada masyarakat Jawa saat itu tentang pemujaan roh yang dalam agama Islam dinilai musyrik. Kemudian, supaya tidak berbenturan dengan tradisi Jawa, maka para wali tidak menghapuskan adat tersebut, melainkan menyelaraskan dan mengisinya dengan ajaran Islam, yaitu dengan pembacaan ayat al-Qur’an, tahlil, dan doa. Nyadran dipahami sebagai bentuk hubungan antara leluhur dengan sesama manusia dan dengan Tuhan.

Tradisi nyadran dilaksanakan  setahun sekali. Tradisi ini biasanya berlangsung pada Jumat Pahing di desa penulis, yakni desa Pandantoyo, Nganjuk. Nyadran merupakan media efektif untuk menjalin silaturahmi antarwarga yang selama ini banyak disibukkan dengan urusan pribadi. Tradisi nyadran masih tetap dilestarikan karena adanya  keyakinan pada masyarakat bahwa tidak akan mendapatkan berkah hidup, baik warga yang berprofesi sebagai petani atau pekerjaan lainnya selama satu tahun mendatang apabila tradisi nyadran ditiadakan. Itulah salah satu sebab masyarakat tetap melestarikan tradisi ini.

Tradisi nyadran di desa Pandantoyo sangatlah meriah. Dalam pelaksanaan nyadran, setiap rumah atau setiap keluarga membuat makanan tradisional, buah-buahan, serta nasi tumpeng. Setelah itu, ada arak-arakan tumpeng yang cukup unik yang dinamakan bayangan. Bayangan adalah tempat tidur yang ditata untuk meletakkan takir atau berkat yang kemudian diarak ke suatu tempat. Selanjutnya akan dibacakan doa bersama untuk mendapatkan berkah, dan dilakukan pada setiap RT yang ada di desa Pandantoyo, Nganjuk. Dahulu, bayangan ini hanya semacam bayang sederhana saja yang diisi takir dan dihias dengan janur/kertas warna. Kini, masyarakat semakin kreatif dengan membentuk bayangan dengan model unik yang berunsurkan budaya, semacam ogoh-ogoh. Kemudian, bayangan yang unik tersebut diarak mengelilingi desa Pandantoyo menuju makam sesepuh/leluhur. Proses arak-arakan bayangan ini disebut dengan Festival Bayangan.

Setelah semua masyarakat berkumpul di makam, upacara akan dimulai dengan sambutan kepala desa lalu pembacaan doa-doa oleh pemimpin doa. Setelah selesai pembacaan doa, makanan-makanan yang berada di jalanan arah ke makam akan bersamaan dimakan oleh masyarakat yg mengikuti upacara tersebut. Inilah bagian yang paling menarik dan ditunggu-tunggu oleh masyarakat. Upacara ini bisa diikuti oleh oleh semua orang, baik orang dewasa maupun anak kecil. Sehingga pelaksanaan upacara nyadran ini berlangsung begitu meriah.

Tidak berhenti di sini, selesai melaksanakan upacara di makam, masyarakat kembali berbondong-bondong menuju balai desa. Di sana terdapat hiburan untuk perayaan upacara, hiburan ini bermacam-macam tergantung pada kesepakatan masyarakat daerah itu sendiri. Ada yang mengadakan pertunjukan wayang, tari kuda lumping, dan lain sebagainya. Pertunjukan seni biasanya berlangsung hingga malam hari, dan tentunya lebih meriah lagi. Itulah tradisi nyadran  yang ada di desa Pandantoyo, kecamatan Kertosono, Nganjuk.

NB: Foto ogoh-ogoh perayaan festival saat festival bayangan Ds. Pandantoyo 2019

Dari prosesi yang diulas sebelumnya, dapat diketahui bahwa nyadran tidak sekadar ziarah ke makam leluhur. Akan tetapi, juga ada nilai-nilai sosial budaya, seperti budaya gotong-royong, guyup rukun, pengorbanan, maupun ekonomi. Nilai-nilai itu dipraktikkan oleh masyarakat Jawa dari generasi ke generasi. Nyadran sudah melekat dan menyatu pada masyarakat Jawa lintas generasi. Hal ini bisa dilihat dari antusiasme warga, bahkan banyak anggota keluarga yang sedang merantau di luar kota pulang untuk nyadran dan ziarah. Mereka pulang untuk melakukan tradisi ini, sekaligus untuk bersilaturahmi dengan keluarga besar. Di sini ada hubungan kekerabatan, kebersamaan, kasih sayang yang terjalin di antara warga atau anggota trah. Di samping itu, semakin jelas adanya nilai transformasi budaya dan tradisi dari yang tua kepada yang muda

Melalui prosesi nyadran muncul juga berbagai mitos yang dipelihara dan diyakini oleh masyarakat. Makna yang terbentuk pada masyarakat diidentifikasi berdasarkan prosesi nyadran, simbol, nilai, mitos, dan konstruksi sejarah yang ada pada masyarakat. Komunikasi dalam perspektif Asia yang menekankan ritual dan memandang makna sebagai proses menuju kesadaran diri, kebebasan, dan kebenaran digunakan untuk mendialogkan fenomena nyadran sebagai komunikasi. Konsep komunikasi ritual James W. Carey juga digunakan untuk menunjukkan bahwa komunikasi tidak sekadar proses transmisi. Namun, sebuah partisipasi, asosiasi, dan kepemilikan atas keyakinan bersama.

Nyadran mempunyai berbagai makna, di mana terdapat perbedaan dalam pemahaman aspek sejarah maupun kepercayaan masyarakat terhadap leluhur. Namun, masyarakat tetap melakukan ritual nyadran dalam kebersamaan. Nyadran Sonoageng merupakan tradisi yang diciptakan, dipelihara, dan dilembagakan oleh masyarakat. Konstruksi sejarah memengaruhi kepercayaan dan pemahaman masyarakat terhadap nilai-nilai sejarah, kepercayaan terhadap leluhur, dan pemaknaan terhadap ritual nyadran. Nyadran di desa penulis dimaknai melalui istilah nyekar, syukur, ngalap berkah, dan silaturahmi. Istilah tersebut direpresentasikan masyarakat melalui tindakan-tindakan nyata dalam ritual nyadran dengan penuh kesadaran dari masing-masing anggota masyarakat. Partisipasi masyarakat merupakan aspek penting dalam terselenggaranya ritual ini. Nyadran mampu menciptakan mitos yang diyakini oleh masyarakat sehingga memengaruhi tindakan masyarakat dalam melakukan ritual.

Secara sosio-kultural, implementasi dari ritual nyadran tidak hanya sebatas membersihkan makam-makam leluhur, selamatan (kenduri), membuat kue apem, kolak, dan ketan sebagai unsur sesaji, akan tetapi sekaligus dijadikan landasan ritual doa. Sadranan juga menjadi ajang silaturahmi keluarga sekaligus transformasi sosial, budaya, dan keagamaan. Prosesi ritual Sadranan biasanya dimulai dengan membuat kue apem, ketan, dan kolak. Adonan tiga jenis makanan dimasukkan ke dalam takir, yaitu wadah makanan yang terbuat dari daun pisang, di kanan kiri ditusuki lidi (biting). Kue-kue tersebut selain dipakai munjung/ater-ater (dibagi-bagikan) kepada sanak saudara yang lebih tua, juga menjadi ubarampe (pelengkap) kenduri. Tetangga dekat juga mendapatkan bagian dari kue-kue tadi. Hal itu dilakukan sebagai ungkapan solidaritas dan ungkapan kesalehan sosial kepada sesama.

Penulis menilai bahwa ritual nyadran memberi dampak yang sangat besar bagi masyarakat Jawa, khususnya masyarakat desa Pandantoyo. Karakteristik kuat orang Jawa sangat tampak dalam ritual tahunan tersebut. Tradisi nyadran selain bermakna ritualistik juga syarat akan nilai-nilai pendidikan dan karakter. Dalam tradisi nyadran terdapat proses penanaman dan pengembangan nilai-nilai dari seseorang kepada masyarakat, dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Jadi, nyadran menjadi media internalisasi nilai-nilai agama dan budaya kepada masyarakat. (EN)

Alvirrahmah Fitriani

Alvirrahmah Fitriani, seorang mahasiswi aktif dari program studi Psikologi Islam semester lima IAIN Kediri. Selain sibuk dengan kegiatan perkuliahan, penulis juga sering mengikuti organisasi mulai di bangku Madrasah Aliyah. Untuk mengenal lebih jauh tentang penulis dapat mengubungi e-mail pribadinya alvirrahmah123@gmail.com atau follow akun instagramnya @alvir.rhm.ftiani

About author

No comments