Miris dan tragis, dua kata yang bisa menggambarkan kondisi bangsa ini. Kondisi yang begitu memprihatinkan di mana virus Corona telah mengepung dan mengancam kestabilan bangsa. Kini virus yang mematikan itu telah benar-benar menunjukkan taringnya, lebih dari 143 ribu orang terinfeksi dan 6.277 orang diantaranya telah meninggal dunia akibat keganasan virus tersebut (data terakhir pada 18/08/2020).
Tak heran jikalau masyarakat Indonesia dituntut untuk mulai mengubah segala macam kebiasaannya melalui protokol kesehatan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Semua kebiasaan yang melibatkan kontak fisik dan pengumpulan massa harus benar-benar ditiadakan, termasuk tradisi dan budaya yang telah mengakar kuat di negeri ini
Sebut saja, budaya jabat tangan. Salah satu budaya yang menjadi ciri khas dan simbol keramah tamahan bangsa, kini terpaksa harus ditiadakan demi menghentikan transmisinya virus. Pertemuan yang biasanya diawali dengan jabat tangan, kini telah jarang ditemukan. Bukan hanya itu saja, tradisi nyadran yang notabenenya rutin setiap tahun digelar, kini juga terpaksa tidak diadakan.
Hal demikian juga terjadi di salah satu desa terpencil yang berada di tengah hutan tempat penulis melakukan KKN-DR, tepatnya di kabupaten Nganjuk. Di desa tersebut setiap tahunnya rutin digelar acara nyadran. Sayangnya, tahun ini, setelah adanya pandemi Covid-19 acara yang sudah menjadi tradisi tersebut tidak bisa diadakan lagi. Beragam spekulasi mencuat perihal kegelisahan dan kekhawatiran masyarakat mengenai eksistensi tradisi nyadran di masa mendatang bilamana tradisi ini tidak bisa diadakan selama pandemi Covid-19 belum berakhir.
Nyadran berasal dari bahasa Sansekerta, sraddha yang berarti keyakinan. Nyadran adalah serangkaian budaya yang berupa sedekah bumi, pembersihan makam leluhur dan shalawatan di suatu desa. Dilaksanakan setiap satu tahun sekali dan pelaksanaan nyadran selalu dipilih pada hari Jumat Pahing. Tradisi itulah yang hingga kini dipegang teguh warga Bendoasri, kecamatan Rejoso, kabupaten Nganjuk, dengan rutin menggelar tradisi bersih desa atau dikenal dengan istilah nyadran. Tradisi yang berlangsung secara turun temurun ini merupakan upaya untuk melestarikan budaya jawa. Tujuannya agar manusia selalu bersyukur atas karunia yang diberikan Allah SWT untuk sumber kehidupan masyarakat setempat.
Tradisi nyadran dilakukan lebih dari dua hari dan mengadakan berbagai macam acara. Untuk acara utamanya yaitu sedekah bumi dan doa untuk para leluhur desa, disusul dengan campur sari (karawitan), syukuran sumber mata air, shalawatan, motor trail adventure dan berbagai macam acara tambahan.
Sedekah bumi diselenggarakan dengan kirab sambil membawa tumpeng dan makanan yang dibungkus daun pisang, mengenakan pakaian serba putih. Kemudian warga mengikuti kirab dengan berjalan kaki dari depan kantor desa dan diarak keliling desa sampai menuju ke rumah kepala desa Bendoasri. Meskipun desa ini hanya ada 7 RT, tapi kemeriahan yang dilakukan warga desa lereng gunung Pandan ini tak kalah dengan nyadran di desa lainnya. Selain barisan pembawa tumpeng, barisan terdepan masing-masing RT adalah para pemuda berpakaian adat yang mengusung gunungan berupa hasil bumi.
Ada salah satu prosesi di mana sebanyak tujuh gadis berparas cantik ala putri kerajaan membawa tujuh air dari tujuh sumber mata air yang ada di Sendang Desa Bendoasri. Setelah sampai di depan rumah kepala desa, air dimasukkan ke dalam kendi dan disemayamkan untuk dituangkan di tahun depan pada acara serupa. Pengambilan dan penyemayaman air bertujuan agar sumber mata air tetap lancar, serta tidak ada musibah kekeringan. Juga sebagai upaya menjaga hutan agar tetap lestari demi meningkatnya kesejahteraan dan keberlangsungan hidup warga desa.
Ada juga acara doa bersama untuk para leluhur desa yang diselenggarakan di makam setempat. Acara ditandai dengan bersih-bersih makam dan berdoa bersama. Warga juga melakukan selamatan di makam yang dipimpin oleh sesepuh desa dengan menggunakan bahasa jawa. Hal ini bertujuan untuk memberikan penghormatan kepada leluhurnya sebagai pendiri desa. Acara ini diakhiri dengan pengambilan berkat atau makanan yang sebelumnya sudah ditata di makam, untuk kemudian dimakan bersama-sama di makam.
Pada malam hari dilanjutkan acara campursari dengan nuansa musik tradisional Indonesia yang dinyanyikan oleh sinden dengan memakai pakaian yang khas Jawa. Tidak hanya itu saja, masyarakat juga sangat antusias untuk menyaksikan pagelaran campursari dan ikut serta menari di depan panggung bersama para sinden. Campursari adalah salah satu wujud kesenian musik yang tumbuh dan berkembang di daerah Jawa, menggunakan gabungan dari alat musik irama tradisional dan irama nada barat. Dengan menggabungkan 2 unsur musik yang berbeda jenis bisa menghasilkan jenis musik yang baru, alat musik yang khas pada campursari adalah gamelan dan keroncong.
Tidak hanya itu, puluhan offroader motor trail dari berbagai komunitas menjelajahi alam sekitar Desa Bendoasri di lereng gunung Pandan. Karakter pesona alam khas yang dimiliki desa Bendoasri ini sukses menarik minat para bikers pemburu adrenalin tersebut. Setelah menjelajahi alam dengan motor trail, para bikers mendapat tantangan untuk melewati 2 tanjakan yang memiliki tinggi kurang lebih 30 meter. Dari 2 tanjakan tersebut, hanya beberapa orang saja yang berhasil melewatinya dan membuat para bikers lain terkesima dan memberikan ucapan selamat.
Acara tambahan untuk nyadran biasanya ada sholawatan, dilaksanakan beberapa hari setelah acara inti dengan mengundang grup sholawat dari pondok pesantren, contohnya seperti grup sholawat dari pondok Lirboyo. Acara tersebut juga diisi sambutan-sambutan dan tausiyah dari tokoh masyarakat.
Rangkaian tradisi nyadran di desa Bendoasri memiliki makna yang mendalam bagi masyarakat setempat. Dengan tidak dilaksanakannya tradisi ini pada tahun ini membuat masyarakat merasa sedih dan diliputi rasa khawatir mengenai eksistensi tradisi nyadran di masa mendatang. Masyarakat khawatir bila tradisi ini akan memudar dan kembali tidak dilaksanakan di tahun-tahun mendatang akibat pandemi Covid-19 tidak segera berakhir.
Penulis berharap belenggu pandemi Covid-19 segera berakhir dan tradisi-tradisi yang berkembang di masyarakat bisa dilakukan lagi sehingga semua tradisi akan tetap eksis. Terutama tradisi nyadran di desa Bendoasri, Nganjuk tempat di mana penulis melakukan KKN-DR. Salam … (EN)
* Eric Dwi Kurniawan adalah mahasiswa aktif Prodi; Pendidikan Agama Islam-IAIN Kediri (email: erick.dwikurniawan46@gmail.com)
No comments