WARISAN BUDAYA AKULTURASI ISLAM-JAWA SEBAGAI BENTUK UPAYA PENANGKAL KRISIS MODERNITAS PADA GENERASI ISLAM

0

Indonesia terkenal sebagai salah satu negara dengan penganut agama Islam terbesar. Tersebarnya agama Islam ini tak lepas dari usaha penyebaran yang telah dilakukan oleh para pedagang muslim yang terjadi pada sekitar abad 7-16 M. Pada saat itu, Indonesia atau pada zaman dahulu dikenal sebagai Nusantara merupakan kawasan perdagangan yang ramai dikunjungi pedagang dari berbagai bangsa, termasuk salah satunya dari Arab, Persia, Gujarat.

Kemudian, hubungan perdagangan ini dimanfaatkan oleh para pedagang muslim sebagai media dakwah. Ada juga pedagang muslim menetap dengan cara menjalin hubungan interaksi dengan dengan masyarakat sekitar, karena pedagang muslim memiliki status sosial dan ekonomi yang lebih baik menyebabkan banyak penduduk prbumi yang menjadi istri-istri dari para pedagang muslim terutama pada perkawinan antara pedagang muslim dengan anak bangsawan yang akan mempercepat proses Islamisasi. Akhirnya, membuat komunitas Islam meluas dan mulai muncul kampung-kampung dan pusat kekuasaan.  Terdapat juga dengan metode pendidikan dimana dengan dibangun pesantren, surau, masjid.

Pada pulau Jawa sendiri terkenal dengan tokoh Walisongo yang sukses berdakwah di Pulau Jawa yang sampai sekarang ajaran dakwahnya masih dilestarikan dan masih sering diikuti oleh masyarakat Jawa. Sejarah kesuksesan dakwah para Walisongo tentu tidak terlepas dari strategi dan metode yang dipergunakan dalam aktivitas dakwah.

Kesuksesan penyebaran agama Islam dikarenakan dakwah yang dilakukan oleh para Walisongo dengan melakukan akulturasi budaya yang biasanya erat dalam karakter budaya masing-masing pada setiap daerah dengan agama. Walisongo melakukan penyebaran Islam secara bertahap dan tidak menggunakan kekerasan, di Nusantara sendiri sebelum ajaran agama Islam datang, masyarakat menganut ajaran agama Hindu dan Budha. Dimana masyarakat menganggap suci hewan sapi.

Kemudian, ketika agama Islam datang tepatnya hari raya Idul Adha umat Islam diwajibkan untuk melaksanakan kurban, para Walisongo mengganti sapi dengan kerbau sebagai bentuk toleransi kepada umat lainnya yang sampai sekarang di daerah Kudus, Jawa Tengah. Masih ada beberapa orang yang berkurban dengan menggunakan kerbau. Selain itu, ada juga dengan menggunakan kebudayaan yaitu melalui wayang yang biasanya sering digelar oleh masyarakat Hindu yang bercerita tentang kisah Mahabarata. Oleh Sunan Kalijoga diakulturasikan dengan menambahkan empat pendamping atau Punakawan yaitu Semar, Petruk, Gareng, dan Bagong. Di dalam pentasnya sendiri banyak dikarang cerita wayang khusus untuk berdakwah. Salah satunya adalah cerita Dewa Ruci yang berisikan mengenai pelajaran tentang thoriqot dan hakikat. Kemudian, ada juga akulturasi budaya dan agama Islam yaitu tahlil, dulu pada masa sebelum Islam datang ketika ada orang meninggal biasanya masyarakat akan begadang selama 7 hari lamanya agar keluarga yang ditinggal dengan harapan keluarga yang terkena musibah kematian tidak terlarut dalam kesedihan dan kesepian.

Setelah datangnya Islam, maka budaya begadang ini di akulturasi dengan bacaan-bacaan kalimat toyyibah. Ketiga budaya tersebut sampai sekarang masih cukup lestari di kalangan masyarakat desa, terutama bagi kaum muslim Ahlussunnah wal Jama’ah yang selalu dilakukan untuk mendoakan orang yang telah meninggal dunia.

Di Desa Sambirejo, Kecamatan Gampengrejo, Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Desa ini termasuk desa yang kecil, namun begitu pertumbuhan penduduk di desa tersebut cukup padat. Apalagi mulai dibangunnya perumahan yang ada, jadi mulai berdatangan masyarakat dari daerah lain. Walaupun dengan mulai datangnya warga lain, keadaan desa tidak mengalami perubahan yang terlalu drastis bisa dibilang keadaan masyarakat seperti biasa aman dan tentram.

Salah satu juga yang membuat desa tersebut terkenal karena merupakan sebuah tempat latihan atlet salah satu klub voli terkenal di Kediri.Sebelumnya diberitahukan bahwa di Desa Sambirejo ini sering masih melakukan tradisi tahlilan serta pagelaran wayang kulit, karena memang mayoritas dari penduduk Desa Sambirejo adalah warga Nahdliyyin atau NU.

Di dalam Bahasa Arab, Tahlil berarti menyebut kalimah syahadah yaitu La ilaha illa Allah. Tahlilan merupakan sebuah kegiatan membaca serangkian ayat Al-Qur’an dan kalimat thayyibah (tasbih, tahmid, tahlil, dan takbir) yang dimana pahala dari bacaan tersebut diberikan atau dihadiahkan untuk para arwah yang telah disebutkan namanya oleh pembaca atau pemilik hajat. Tahlilan biasanya dilaksanakan pada hari-hari tertentu, seperti 7 hari berturut-turu dari meninggalnya seseorang.

Kemudian dilanjutkan dengan hari ke-40, ke-100, dan ke-1000-nya. Tapi, tahlilan juga biasanya dilakukan secara rutin pada malam Jumat ataupun malam-malam terntentu lainnya. Biasanya setelah melakukan tahlilan pemilik hajat akan memberikan hidangan makanan untuk dimakan di tempat ataupun dibawa pulang. Pada tradisi tahlil di Desa Sambirejo ini, biasanya ketika seseorang meninggal pada saat tahlilan tujug hari berturut-turut pada tahlil hari ketiga dan ketujuh diberikan sebuah besek berupa makanan, itu diberikan sebagai sebuah pengingat kalau tahlil sudah berjalan pada hari ketiga.

Lalu, hari ketujuh begitu pula sama diberikan besek sebagai tanda tahlil hari terakhir. Untuk tahlil hari ke-40, ke-100, ke-1000 itu selalu diberikan makanan untuk dimakan di tempat dan juga besek untuk dibawa pulang. Ada juga hari tahlilan yang dilakukan selain pada hari yang disebutkan sebelumnya seperti mendak pisan (satu tahun), mendak pindo (dua tahun), mendak pangiling-ngiling. Pada mendak pangiling-iling biasanya dilakukan ketika sesudah tahlilan pada hari-hari yang disebutkan sebelumnya dan dilakukan waktu meninggalnya orang tersebut.Walaupun pada masa sekarang ini tahlilan sering dipertentangkan oleh para pembaharu ataupun para modernis, mereka menganggap tahlilan merupakan sebuah acara yang keliru dengan alasan bahwa tahlilan tidak ada landasan dari Al-Qur’an, bahkan ada juga yang mengkafirkan orang yang melakukan tahlilan.

Walaupun begitu tahlilan merupakan tradisi budaya akulturasi yang telah diwariskan oleh ulama terdahulu dan dalam prateknya tidak ada unsur yang menyekutukan Allah. Hal itu disebabkan karena dalam tahlilan bacaan dan doa yang dilantunkan juga berasal dari Al-Qur’an. Memang kebanyakan tahlilan hanya dilakukan oleh warga NU saja dan ini sudah seperti tradisi yang mendarah daging dan menjadi sebuah acara yang umum dilakukan oleh warga NU termasuk warga Desa Sambirejo yang mayoritas adalah warga NU juga.

Pada Desa Sambirejo pagelaran wayang kulit dilakukan ketika memperingati bulan Muharram atau dalam tanggal Jawa diberi nama sebagai Bulan Suro. Kata Suro sebenarnya berasal dari kata ”asyura” dalam Bahasa Arab yang berarti sepuluh, karena dalam lidah masyarakat Jawa menjadi Suro. Bulan Muharram dan Suro sama-sama menjadi bulan pertama. Pada bulan Suro ini dalam budaya Jawa, Suro identik dengan suasana sakral dan mistis. Kekeramatan Bulan Suro ini menurut kepercayaan orang Jawa kegiatan acara atau hajatan tidak berani diselenggarakan, banyak yang memiliki anggapan bahwa bulan Suro atau Muharram merupakan bulan paling agung dan mulia, karena terlalu mulianya bulan Suro.

Pada Desa Sambirejo biasanya pada bulan Muharram atau Suro dalam tanggal Jawa, dilakukan berbagai macam acara. Seperti khataman Al-Qur’an, tasyakuran, serta pagelaran wayang. Pada acara khataman Al-Qur’an ini biasanya dilakukan di kuburan secara bersama-sama dan dilakukan oleh kaum laki-laki, biasanya acara khataman Al-Qur’an dilakukan pada waktu setelah sholat Isya’ dan selesai pada pukul 12 malam.

Pada tasyakuran ini juga dilakukan di kuburan, setelah selesai mengkhatamkan Al-Qur’an, akan dilanjutkan acara tasyakuran dengan menggunakan tumpeng dan bersama-sama berdoa membaca tahlil bersama. Pada pagelaran wayang kulit dilakukan pada saat hari weton dari kepala desa yang menjabat. Weton adalah perhitungan hari lahir seseorang istilah ini diambil dari bahasa Jawa yang berarti keluar atau lahir. Pagelaran wayang kulit ini dilakukan sebagai acara puncak yang biasanya bercerita mengenai cerita malam satu Suro atau Satu Muharram, dan biasanya menampilkan punokawan juga, dan acara ini biasanya dilakukan selalu pada peringatan Suro atau bulan Muharram. Bisa dilihat bahwa walaupun terkesan seperti seperti tradisi Jawa tetapi dikemas apik dengan ajaran Islam, seperti adanya khataman Al-Qur’an, pembacaan tahlil, serta pagelaran wayang kulit yang bernuansa akulturasi peninggalan budaya dari Walisongo yang patut dipertahankan. Pada bacaan diatas sudah diketahui mengenai keadaan agama Islam di desa Sambirejo, memang mayoritas dari masyarakat desa Sambirejo adalah warga NU. Warga NU terkenal sebagai organisasi Islam tradisional yang masih mempertahankan pemikiran-pemikiran ulamaterdahulu baik dalam tasawuf, hadis, fikih, tafsir, dan teologi.

Menurut Nashr saat ini manusia modern sedang mengalami krisis spiritual akut yang akhirnya adanya perkembangan teknologi barat yang tidak diimbangi dengan nilai esoterik, yang akhirnya ilmu menjadi penguasa dan mendominasi alam. Kritik Nashr ini bertujuan untuk mengingatkan kembali manusia modern dan mengembalikan manusia pada asalnya sebagaimana telah dilakukan manusia dalam perjanjian suci dengan Tuhannya yang disebut sebagai Tradisionalisme Islam. Menurut Nashr, tradisional merupakan solusi terbaik bagi umat Islam untuk mengangkat kembali Islam Tradisional yang diyanikinya merupakan solusi terbaik bagi umat Islam yang telah terinjak dibawah peradaban modern barat.

Cita-cita Nashr adalah mengembalikan kemurnian Islam menuju aqidah, tauhid, ibadah, menuju akhlak, dan moralitas Islami dan semangat Islami. Pemikiran Nashr ini sesuai dengan keadaan pada Desa Sambirejo terutama bagi warga NU karena pada dasarnya masih memegang teguh ajaran Islam tradisional yang dahulu diwariskan oleh para wali dan ulama pada zaman dahulu. Seperti halnya tahlilan yang merupakan akulturasi dengan budaya Jawa namun dikemas secara apik dengan Islam dimana tahlilan digunakan untuk mendoakan tetangga atau kerabat yang telah meninggal dan merupakan salah satu bentuk kepedulian kita kepada keluarga yang meninggal yaitu dengan cara membacakan kalimah thayyibah.

Kemudian ada juga pagelaran wayang kulit yang dulu menjadi salah satu metode berdakwah yang hingga sekarang masih eksis, dan sekarang juga menjadi media pengantar dakwah dan sebagai sebuah metode dalam membentuk sebuah kepribadian yang sesuai dengan ajaran Islam. Dengan begini masalah-masalah modernitas yang terjadi seperti adanya krisis moral bisa teratasi dengan menggunakan ajaran dari tasawuf dalam pagelaran wayang. Namun, sayangnya pagelaran wayang tidak digemari oleh para anak remaja masa sekarang dan dalam beberapa waktu ini banyak terjadinya krisis moral yang dilakukan oleh generasi penerus Islam, jika ini terus terjadi bisa membuat adanya kemunduran pada agama Islam dan ini sangat disayangkan. Apa yang menjadi pemikiran oleh Nashr ini memang benar dan seharusnya menjadi sebuah jalan agar bisa membuat masyarakat Islam menjadi bermoralitas Islami dan bersemangat Islami dengan tetap berpegang teguh pada Al-Qur’an dan Hadis, serta kegiatan ini bisa dengan cara menggunakan masjid sebagai sebuah pusat kajian ilmu pengetahuan seperti pada masa dahulu di masa Rasulullah Saw. (DEW)

PROFILE PENULIS

Agung Nugroho

Penulis bernama Agung Nugroho. Penulis adalah mahasiswa aktif program studi Psikologi Islam IAIN Kediri. Email : agungnug333@gmail.com

About author

No comments

SEKADAR SINGGAH

Jendela rapuh yang malang Saksi mati debaran yang menggoyahkan Indra ini terpaku pada indahnya ciptaan Tuhan yang menjulang bak panglima kerajaan dalam menembus pertahanan Entah, ...