Air dan Konser

0

Sebuah konser tengah berlangsung di sebuah gedung salah satu sekolah menengah atas ternama pada malam hari itu. Banyak kaum muda yang berpartisipasi dalam acara hiburan tersebut, mulai dari pelajar, mahasiswa, hingga warga umum. Konser ini pengisinya ialah band-band dengan berbagai macam genre musik. Acaranya berlangsung meriah, banyak UMKM yang turut meramaikannya, berbaris rapi di lapangan depan gedung tersebut.

Setiap orang yang masuk harus mempunyai tiket konser, hal ini dilakukan supaya pengunjungnya tidak membludak mengingat luas tempatnya yang terbatas. Jadi, pada pintu masuk, telah siaga panitia yang bertugas mengecek tiket para pengunjung. Terdapat beberapa polisi di sana yang bertugas mengamankan jalannya konser itu.

Nuva, seorang pelajar sekolah itu pun ingin menonton konser tersebut dengan Oden, temannya. Ia datang ke sana sendirian jam tujuh malam. Sejurus kemudian, ia telah sampai di depan gedung. Ia menunggu temannya datang.

“Posisi kamu di mana? Aku udah di depan gedung.” Nuva mengirim pesan ke Oden.

“Aku udah di dalamnya,” balas Oden.

“Oh, kamu sudah masuk terlebih dahulu ya? Oke, aku ke situ,” jawab Nuva. Nuva pun melangkah masuk ke gedung untuk menyusul temannya itu. Seperti pengunjung lain, ia juga dicek tiketnya, dan dilekatkan tiket itu ke pergelangan tangan kanannya, sebab tiket itu adalah sticker sebagai tanda pengunjung.

Setelah masuk, Nuva bertanya lagi, “Ini sudah di depan panggung, kamu di mana sih?”

“Seperti tadi aku bilang, aku udah di depan dekat panggung.” Nuva pun bergerak kesana kemari mencari keberadaan temannya itu. Dan akhirnya bertemu juga. Oden terlihat bersama dua temannya, ia memakai topi abu-abu, memakai kemeja dengan warna senada sengaja dibiarkan terbuka—tidak di kancingkan kancing bajunya—memperlihatkan kaosnya, dan menggunakan celana krem dengan sandal berwarna hitam. Sedangkan Nuva mengenakan kaos ditutup dengan jaket hoodie hitam, celana panjang hitam, dan sandal hitam. Serba hitam, hehe.

“Udah dari tadi ya?” tanya Nuva.

“Oh, iya. Udah dari ba’da maghrib tadi kami langsung meluncur ke sini,” balas Oden.

“Oh, iya-iya,” ujar Nuva.

Gedung yang mendukung terlaksananya konser itu, memiliki tribun seperti yang ada pada stadion sepak bola. Panggung konsernya juga sudah ada dari sananya, jadi tidak perlu memasang panggung lagi. Hanya saja, ia harus diberi hiasan agar terlihat lebih menarik. Gedungnya cukup luas, cocok untuk acara-acara besar.

Waktu pun berjalan, band demi band telah perform. Lagu demi lagu telah dinyanyikan. Para penonton konser pun terlihat sangat antusias. Mereka bernyanyi sambil berjoget mengikuti irama musik yang bertempo cepat. Keringat bercucuran membasahi baju mereka.

Saat lagu berhenti, mereka mengistirahatkan badannya, ada lelaki yang melepas bajunya, sebab gerah yang terjadi sehingga tampak hanya menggunakan kaos dalam dan celananya. Dan saat lagu dinyanyikan lagi, mereka pun berjoget kembali, joget yang menyenggol-nyenggol.

Semua terasa baik-baik saja, tetapi ternyata semakin malam semakin tampak adanya kejanggalan-kejanggalan. Diantaranya, mereka minum air yang memabukkan yang dikemas dalam botol air mineral. Hal ini terlihat dari tingkahnya yang joget tidak beraturan, nafasnya yang berbau alkohol begitu menyengat.

Tidak sampai di situ saja, bahkan ada perempuan yang joget sambil merokok, “Astaga! Mau jadi apa anak ini?” Kaget dan kesal Nuva dalam hati. ‘Kok bisa, ya, penjaga pintu masuknya tidak mengetahui kalau beberapa pengunjungnya membawa arak yang dikemas dalam botol plastik?’ gumam Nuva. Sekilas memang tidak tampak seperti miras, tetapi jika ditelisik lebih dalam, maka rahasianya akan terbongkar. Namun, hal itu tidak terjadi.

Nah, dari sinilah peristiwa itu terjadi. Sebab joget-joget yang senggol-senggolan ada pemuda yang mabuk berat marah. Jadilah pertikaian dan perkelahian yang memicu keramaian. Pemuda yang mabuk tersebut marah sambil berteriak-teriak ingin adu fisik.

Dan ricuhlah konser itu. Yang awalnya hanya dua orang, kemudian menjadi banyak orang. Karena semakin rusuh suasananya, maka mereka dipisahkan oleh pemuda-pemuda lain, meski pemuda yang mabuk tadi ngotot ingin adu fisik. Maka, kepala sekolah pun ikut turun tangan mendamaikan mereka.

Bapak kepala sekolah mematikan saklar listriknya, sehingga gelaplah ruangan itu sebab lampunya mati. Matilah juga peralatan musiknya. Kagetlah semua orang yang ada di dalamnya seakan bertanya, “Ada apa ini?”, “Kok lampunya tiba-tiba mati.”

Sesaat kemudian, lampunya menyala kembali. “Sebenarnya ada apa sih ini?” keheranan orang-orang di sana dalam hati. Tiba-tiba bapak kepala sekolah tadi angkat bicara, “Kalian semua ini bagaimana sih? Maunya apa? Nonton konser musik kok malah tawuran, malah mabuk-mabuk, apa coba untungnya? Apa hah!!” Suasana pun hening, sebab ia sedang marah besar. Tidak ada satu orang pun yang berani menjawab.

Para panitia pun juga tidak menyangka bakal seperti ini jadinya. Mereka telah merencanakan sebuah acara yang diharapkan dapat berjalan dengan baik dan lancar, malah mendapat hal sebaliknya. Acaranya kacau, pengunjungnya banyak melakukan tindakan yang meresahkan orang lain dan merugikan diri sendiri. Betapa menyesalnya mereka, sebab kurang ketatnya pemfilteran terhadap para pengunjung yang masuk.

Namun, penyesalan tetaplah penyesalan. Toh, semuanya telah terjadi, tak bisa mereka cegah, dan tak bisa diperbaiki. Mana mungkin bisa mundur ke masa lalu, kemudian memperbaikinya, sehingga tidak terjadi masalah pada masa kini? Kini yang bisa dilakukan ialah mencari solusi atas permasalahan yang hadir tanpa permisi saat ini, sedangkan masa yang telah lalu biarlah menjadi pelajaran hidup untuk ke depannya.

“Oleh karena itu, konser saya bubarkan!! Sekarang kalian semua pulang!!” ujar sang kepala sekolah dengan berapi-api.

“Yaelah, gimana sih.” Kekecewaan dalam hati pengunjung.

“Huuuuuu,” sorak penonton yang tidak terima. Serentak semua orang berangsur-angsur berjalan menuju pintu keluar untuk kemudian pulang ke rumahnya masing-masing. Ada yang masih sejenak menetap di ruangan itu, ada juga yang bergegas pulang meski berjalan dengan sempoyongan sebab mabuk berat.

Sungguh realita zaman yang buruk, zaman yang edan. Mereka seakan-akan merasa aman dari penghakiman/pertanggungjawaban akhirat kelak. Seakan-akan mereka tidak akan mendapat pertanyaan di alam kubur. Memang sebagian pemuda itu seperti yang dikatakan oleh Bang Haji Rhoma Irama, berpikirnya sekali saja tanpa memikirkan akibatnya. Meskipun sebenarnya masih banyak pemuda lain yang tidak seperti itu.

Masa muda, masa yang berapi-api—meminjam kalimat Bang Haji Rhoma, sebab jiwa muda memang memiliki semangat yang sangat tinggi yang jika diarahkan pada hal positif, maka ia akan menjadi kebaikan. Namun, jika semangatnya diarahkan pada hal negatif, maka terjadilah keburukan.

Sebenarnya apa yang dipikirkan oleh mereka? Apakah mereka merasa bangga setelah berbuat kriminal? Apakah setelah berbuat kerusakan pada dirinya sendiri, mereka merasa lebih baik? Tentu tidak, jika mereka memang masih sehat akalnya.

Konser selesai dan bubar dengan buruk. Nuva pun juga pulang dengan sendirian lagi, sebab temannya pulang terlebih dahulu. Nuva menyesal telah menghadiri konser kacau itu. Ia pulang dengan perasaan kecewa, sesal, dan benci, tetapi sudahlah biarlah itu ia jadikan pelajaran bagi kehidupannya. (EN)

Biografi Penulis

M. Arju Abdan Aufa

Arju Abdan Aufa salah satu mahasiswa IAIN Kediri. Laki-laki yang lahir di Kediri memiliki hobi membaca buku dan menulis artikel. Beberapa karyanya pernah beberapa kali menulis artikel Internet di forum Kaskus dan cerpen di blog sendiri. Apabila ingin lebih dekat dengan penulis dapat menghubungi E-mail pribadinya marjuabdanaufa@gmail.com atau akun Instagram: @muhammadarju_ dan Twitter: @muhammadarju_

About author

No comments