Dunia mengenal Indonesia sebagai negara yang berada dalam kawasan Asia Tenggara. Asia Tenggara menjadi kawasan yang paling sering didatangi oleh bangsa-bangsa lain, seperti bangsa Eropa. Menurut Sunarti (2016:164), kedatangan bangsa Eropa yang mulai terjadi sejak awal abad ke-16, memiliki dampak yang sangat signifikan bagi perkembangan sejarah Asia Tenggara modern. Bisa dikatakan kedatangan bangsa Eropa bersamaan dengan ekspansi kolonialisme merupakan penyebab terbentuknya negara-negara modern Asia Tenggara saat ini.
Mustahil apabila bangsa Eropa tidak menyisakan imbas terhadap kondisi Indonesia saat itu. Sebaliknya, kedatangan bangsa Eropa ke kawasan Asia Tenggara, tentu akan meninggalkan bekas yang begitu nyata. Kawasan Asia Tenggara yang memang dikenal memiliki kekayaan alam atau SDA yang melimpah, menjadi poin penting mengapa banyak orang-orang khususnya dari Eropa berbondong-bondong datang ke Asia Tenggara. Negara Indonesia salah satunya negara yang didatangi oleh orang-orang Eropa karena kekayaan alamnya yang begitu melimpah. Hampir sebagian besar mata pencaharian masyarakatnya sendiri adalah petani, pekebun, sehingga mampu menghasilkan berbagai tanaman yang berkualitas. Hal tersebut yang menyebabkan semakin terpikatnya bangsa Eropa untuk lebih lama menduduki Indonesia.
Salah satuya ialah Ricklefs dalam Anggraeni (2015:90), kedatangan bangsa Eropa di Indonesia pada abad ke-17 mulanya adalah untuk berdagang, namun pada perkembangannya mereka telah melakukan perluasan wilayah untuk kepentingan kolonialisasi. Perluasan wilayah tidak hanya dapat dilakukan orang-orang Eropa sendiri, mereka membutuhkan sekutu-sekutu lokal. Namun, di sisi lain, banyak pemerintah lokal yang tidak menyukai perlakuan bangsa Eropa tersebut dan banyak melakukan perlawanan. Pasca penyerangan yang dilakukan oleh beberapa elit lokal yang ada di Indonesia pada abad ke-19, bangsa Belanda mulai berhati-hati dalam menancapkan akar kolonialismenya, terutama di Jawa. Rezim kolonial mengambil pendekatan lebih konservatif. Mereka sedapat mungkin berkompromi dengan elit lokal. Ini berarti Belanda muali mengidentifikasi satu per satu elit lokal yang mau bekerjasama, baik di Jawa maupun di masing-masing wilayah jajahan barunya di Indonesia.
Kedatangan bangsa Eropa ke Indonesia memang pada mulanya disambut dengan sangat baik oleh rakyat Indonesia. Tujuan awal kedatangan mereka ke Indonesia adalah untuk berdagang. Namun, siapa sangka tujuan awal tersebut harus tertutup oleh nafsu untuk menguasai seluruh kekayaan milik Indonesia. Semakin lama mereka mulai menunjukkan sifat ditaktor dan kejam mereka, meskipun bukan rakyat asli dari negara Indonesia. Ketamakan dari bangsa kolonial ditunjukkan dengan kebijakan-kebijakan, peraturan-peraturan mereka yang tidak sesuai dengan kondisi negara Indonesia. Orang-orang tersebut bahkan mengambil alih kekuasaan yang seharusnya bukan wewenang atau hak mereka. Rakyat Indonesia yang sebelumnya hidup normal, kehidupannya berubah menjadi lebih memprihatinkan. Rakyat Indonesia dituntut untuk selalu mengikuti peraturan dan kebijakan yang diterapkan oleh bangsa kolonial, yang tentu saja sangat merugikan bagi rakyat.
Rasa sakit hati dan penderitaan secara fisik yang diterima bangsa Indonesia setelah bangsa Barat menjajakan kakinya di Indonesia, memicu kemarahan dari rakyat Indonesia yang tidak dapat tertahan. Ada pula yang memilih untuk pasrah atas tindakan yang dilakukan oleh orang-orang Barat dengan semena-mena. Mereka yang sudah tidak mampu membendung amarahnya, berpikir untuk melakukan perlawanan. perlawanan fisik menjadi senjata yang digunakan oleh rakyat Indonesia dalam menghadapi tindakan semena-mena bangsa Barat.
Pemberontakan yang dilakukan oleh rakyat Indonesia terdahulu, merupakan salah satu bentuk perlawanan terhadap para penjajah yang berusaha menguasai negara Indonesia. Rakyat terus-terusan mengalami penderitaan, krisis, hingga kematian secara tidak manusiawi. Hal tersebut tentu saja akibat dari kebijakan atau tindakan yang dilakukan oleh para penjajah yang menduduki Indonesia pada masa itu. Pemberontakan Geger Cilegon pada tahun 1888 menjadi salah satu contoh bentuk perlawanan yang dilakukan oleh rakyat terhadap pemerintah Hindia Belanda. Pemberontakan yang di latar belakangi oleh tindakan kesewenang-wenangan Belanda mengenai peralihan kependudukan Belanda ke Banten tersebut juga tidak lepas dari peran ulama yang turut serta dalam melawan pemerintahan Hindia Belanda.
Seperti yang terjadi pada tahun 1888 silam, sebuah pemberontakan telah terjadi di daerah Banten, tepatnya di Desa Cilegon. Pemberontakan tersebut dilakukan oleh para petani dengan di pelopori oleh seorang tokoh ulama, yaitu Kyai Haji Wasyid atau Haji Wasyid. Perlawanan yang dilakukan oleh kaum tani ini dikenal dengan peristiwa pemberontakan petani Banten atau Geger Cilegon 1888. Insiden ini pecah, setelah rakyat Banten kehabisan kesabaran mereka atas perlakuan dari pemerintah Belanda. Bukan hanya hak-hak mereka sebagai petani yang harus dikendalikan oleh Belanda. Namun, keyakinan atau agama mereka juga pernah dihina oleh Belanda, dan dibatasi pelaksanaan aktifitas keagamaan.
Pada insiden tersebut, bukan hanya Ki Wasyid saja yang sebagai tokoh ulama ikut turun tangan. Namun, juga ada beberapa tokoh ulama yang turut andil dalam peristiwa Geger Cilegon. Pemberontakan tersebut memang bukan pemberontakan pertama yang dilakukan oleh rakyat Indonesia, sebelumnya pun juga sudah pernah terjadi pemberontakan-pemberontakan seperti ini, namun kebanyakan selalu berakhir dengan kegagalan. Seperti halnya pemberontakan-pemberontakan yang terjadi sebelumnya, pemberontakan yang dilakukan oleh kaum tani dan ulama di Banten pada rahun 1888 tersebut, juga harus mengalami kegagalan dan berakhir dengan tragis.
Latar belakang terjadinya pemberontakan yang dilakukan oleh rakyat Banten atau yang dikenal sebagai peristiwa Geger Cilegon pada 9 Juli 1888 silam yaitu karena tindakan dan kebijakan yang dikeluarkan oleh Belanda dengan sewenang-wenan, tanpa memperhatikan kondisi rakyat. Gerakan perlawanan yang dilakukan oleh kaum tani, rakyat, jajaran pejabat atau elit lokal, para tokoh ulama Banten dilakukan sebagai bentuk protes dan perlawanan rakyat terhadap penjajah kolonial Belanda. Gerakan tersebut juga dilatar belakangi oleh kemarahan rakyat, khususnya para petani yang merasa bahwa hak-hak mereka sebagai petani telah dikendalikan oleh pemerintah Belanda, serta aktifitas atau hal-hal yang berhubungan dengan keagamaan dibatasi, bahkan dihina oleh penjajah kolonial Belanda, sehingga memicu amarah rakyat dan lahirlah gerakan perlawanan yang dilakukan oleh rakyat Banten tepatnya pada tahun 1888 yang dikenal dengan Geger Cilegon 1888.
Gerakan perlawanan yang dilakukan oleh rakyat Banten tersebut, juga tak lepas dari peran oleh para tokoh ulama. Lahir atau pecahnya gerakan perlawan tersebut dipelopori oleh tokoh ulama, yaitu Haji Wasyid. Selain itu dalam gerakan perlawanan ini, diketahui ada 3 kyai utama atau tiga kyai yang memiliki peran besar dalam gerakan perlawanan tersebut, yaitu Syekh Abdul Karim atau Haji Abdul Karim, Ki Wasyid atau Haji Wasyid, dan K.H. Tubagus Ismail. Ketiga kyai tersebut dalam memperdalam ilmu agamanya, diketahui pernah belajar hingga ke Mekkah. Haji Abdul Karim lahir pada tahun 1830 M atau 1250 H, yaitu di Desa Lempuyang, Tanara, Serang, Banten, dan dikenal sebagai tokoh ulama yang sangat populer dikalangan masyarakat hingga dikalangan para tokoh-tokoh penting lainnya, diberi gelar sebagai Kyai Agung. Haji Wasyid atau Ki Wasyid lahir pada tahun 1843 di Delingseng, yaitu sebuah kampung kecil yang letaknya di Kecamatan Grogol (sekarang Ciwandan), damn merupakan putra dari Kyai Muhammad Abbas atau Ki Abbas dan Nyi Johariah. Sedangkan K.H. Tubagus Ismail merupakan keturunan dari seorang Sultan dari Banten. Informasi terkait biografi dari K.H. Tubagus Ismail sendiri memang sangat sedikit diketahui.
Peran Ulama dalam Geger Cilegon 1888, terutama peran dari ketiga kyai utama, yaitu Haji Abdul Karim melalui ajaran tarekat Qadiriyah wa Naqshabandiyah yang digunakan sebagai jaringan komunikasi, serta sebagai perata jalan bagi para murid dan pengikutnya dalam perang suci melawan para kolonial Belanda. Haji Wasyid sebagai pelopor sekaligus menjadi pemimpin gerakan perlawanan tersebut bersama dengan K.H. Tubagus Ismail. Haji Wasyid yang mengobarkan semangat para ulama dan masyarakat Banten untuk melakukan perlawan kepada kolonialisme yang telah berkuasa di Indonesia dan bertindak dengan sewenang-wenang.
Akhirnya, ibrah yang dapat diambil dari kisah sejarah demikian adalah mengubah stereotip koletif masyarakat terhadap ulama bahwa selain mengajarkan ilmu agama juga mampu menggerakkan perjuangan rakyat. Selain itu, menjadikan individu untuk memiliki karakter heroik utamanya pemangku kebijakan negara sebab terkadang problematika saat ini yang melanda Indonesia baik sektor ekonomi maupun industri atau sejenisnya benar-benar menempatkan Indonesia dalam keadaan yang belum merdeka. Seyogianya membutuhkan aksi nyata sehingga bisa menjadi pemimpin rakyat sebenarnya. (DEW)
Biografi Penulis
Uskuri Lailal Munna, seorang mahasiswi aktif Jurusan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial semester lima di Universitas Negeri Malang. Selain tengah sibuk mengerjakan tugas-tugas kuliah, gadis yang lahir di Trenggalek ini juga mengikuti UKM STK-AK (Sanggar Tari Karawitan Asri Kusuma) Universitas Negeri Malang. Untuk mengenal lebih jauh tentang penulis dapat menghubungi e-mail pribadinya uskurilaila@gmail.com
DAFTAR RUJUKAN
Adhia, S. 2007. Gerakan Haji Wasyid serta Relevansinya terhadap Konsep Jihad dalam Islam. Skripsi (online). Jakarta:UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dari http://repository.uinjkt.ac.id//dspace/bitstream/123456789/7504/1/SA (diakses pada 28 April 2020).
Anggraeni, P. 2015. Menu Populer Hindia Belanda (1901-1942):Kajian Pengaruh Budaya Eropa Terhadap Kuliner Indonesia. Jurnal Sejarah dan Budaya (online), 9(1), 88-95. Dari http://journal2.um.ac.id/index.php/sejarah-dan-budaya/article/view/1583/870 (diakses pada 2 Mei 2020).
Cholil, M. 2015. Pengaruh Tarekat Qadiriyah wa Naqshabandiyah di Pesantren Mambaul Adhim Desa Bagbogo Kec. Tanjungan Kab. Nganjuk Terhadap Peningkatan Amal Ibadah Masyarakat di Sekitarnya. Skripsi (online). Ponorogo:STAIN Ponorogo. Dari http://etheses.iainponorogo.ac.id/711/1/BAB%2520I-V.pdf&ved (diakses pada 2 Mei 2020).
Hamidah. 2010. Gerakan Petani Banten:Studi Tentang Konfigurasi Sufisme Awal Abad XIX. Jurnal Ulumuna (online), XIV(2), 323-340. Dari http://oaji.net/articles/2015/1792-1440650689.pdf&ved= (diakses pada 2 Mei 2020).
Ishom, M., & Ulum, A. 2015. Kepahlawanan dan Kenegarawan Kyai Arsyad Thawil Al-Bantani. Jurnal Hukum dan Politik (online), 6(1), 32-48. Dari http://www.jurnal.uinbanten.ac.id/index.php/alqisthas/article/view/1582 (diakses pada 12 April 2020).
Karomani. 2009. Ulama, Jawara, dan Umaro:Studi Tentang Elite Lokal di Banten. Jurnal Sosiohumaniora (online), 11(2), 168-182. Dari http://journal.unpad.ac.id/sosiohumaniora/article/view/5417/2779 (diakses pada 2 Mei 2020).
Mukani. 2016. Ulama Al-Jawwi di Arab Saudi dan Kebangkitan Umat Islam di Indonesia. Jurnal Al Murabbi (online), 2(2), 202-229. Dari http://ejournal.kopertais4.or.id/mataraman/index.php/murabbi/article/download/1509/783/ (diakses pada 2 Mei 2020).
Sunarti, L. 2016. Sejarah Indonesia dalam Konteks Politik Global dan Regional. Jurnal Sejarah dan Budaya (online), 10(2), 161-173. Dari http://journal2.um.ac.id/index.php/sejarah-dan-budaya/article/view/1523/817 (diakses pada 28 April 2028).
Wahid, M. 2010. Membaca Kembali Pemberontakan Petani Banten 1888 dalam Strukturasi Giddens. Jurnal Pengabdian Masyarakat (online), 1(2), 65-76. Dari http://www.jurnal.uinbanten.ac.id/index.php/dedikasi/article/view/1739 (diakses pada 28 April 2020).
No comments