Di balik berdirinya suatu desa ataupun kota pasti di dalamnya terdapat sejarah yang bisa dikulik. Sama halnya dengan desa tempat penulis tinggal. Sebuah desa yang berada di sisi barat kota Bojonegoro ini ternyata menyimpan sejarah yang sangat banyak. Kota Bojonegoro dilalui oleh sungai Bengawan Solo. Dan tentunya, seiring berjalanya waktu tempat-tempat yang dianggap bersejarah itu kini digunakan sebagai objek wisata oleh warga sekitar. Selain digunakan sebagai objek wisata, juga dijelaskan bagaimana sejarah tempat tersebut. Seperti halnya yang ingin penulis bahas saat ini. Sebuah petilasan yang ada di desa tempat penulis tinggal, yaitu Petilasan Angling Dharma. Menurut penulis, ini merupakan salah satu tempat yang menonjol atau menjadi ikon desa, apalagi jika ditilik dari sisi sejarahnya.
Orang Jawa pasti tidak asing dengan Prabu Angling Dharma. Seorang Prabu di sebuah Kerajaan Malawapati. Sesuai tema yang penulis angkat, yaitu mengenal lebih dalam petilasan Angling Dharma, untuk menapaki jejak sang Prabu Angling Dharma, kita bisa mendatangi Petilasan Angling Dharma tepatnya di desa Wotanngare, kecamatan Kalitidu, kabupaten Bojonegoro. Di mana desa tersebut merupakan desa kelahiran penulis. Di desa Wotanngare inilah ada sebuah petilasan atau pendopo yang dipercaya sebagai peninggalan dari Prabu Angling Dharma, Raja Malawapati. Petilasan ini berada di tengah persawahan, tetapi akses menuju petilasan ini sudah direnovasi sehingga aksesnya sudah cukup mudah dilalui oleh kendaraan roda dua maupun roda empat. Untuk teman-teman yang belum mengetahui apa itu petilasan, petilasan adalah suatu tempat yang pernah disinggahi atau didiami oleh seseorang.
Sedikit cerita sejarah tentang Prabu Angling Dharma. Menurut cerita yang penulis dapat dari nenek penulis, Angling Dharma itu keturunan ke tujuh dari Arjuna. Beliau adalah seorang raja dari kerajaan Malawapati. Konon katanya, Prabu Angling Dharma pernah bersinggah di Bojonegoro saat mengalami masa hukuman dan kutukan menjadi burung Belibis. Beliau dihukum oleh Dewi Uma dan Dewi Ratih karena melanggar janjinya sendiri untuk tidak menikah lagi sebagai wujud cintanya kepada Dewi Setyowati. Cerita Angling Dharma ini diakui sebagai cerita rakyat milik masyarakat desa Wotanngare, Kalitidu, Bojonegoro. Cerita Prabu Angling Dharma ini adalah cerita yang menarik, karena di dalamnya juga ada asal-usul ketika beliau bisa singgah di desa Wotanngare.
Petilasan Prabu Angling Dharma ini terletak di tengah sawah, tetapi akses jalan menuju ke petilasan beliau saat ini begitu mdah karena sudah direnovasi. Sehingga dapat dilewati oleh kendaraan bermotor. Bukan hanya akses jalannya saja yang direnovasi, tapi Petilasan Prabu Angling Dharma pun juga ikut direnovasi. Hal ini dilakukan agar masyarakat desa bisa mengenalkan sejarah peninggalan yang ada di desanya kepada masyarakat luar lainnya. Dan bisa juga dijadikan sebagai objek wisata. Perjalanan menuju ke petilasan beliau pun tidak jauh dari jalan raya. Dalam perjalanan ke petilasan, Anda akan disuguhi oleh pemandangan sawah milik warga Wotanngare yang sangat luas. Tidak heran jika banyak warga yang setiap saat bisa berkunjung ke petilasan karena tempatnya yang lumayan dekat dengan jalan raya. Di dalam petilasan ada sebuah tempat inti yang ditutupi oleh kain berwarna putih. Kain putih yang bertandakan kesakralan atau kesuciannya. Karena yang penulis tahu bahwa budaya orang Jawa ketika menempatkan sebuah kain putih berarti tempat itu merupakan tempat yang sakral. Menurut masyarakat sekitar, area petilasan beliau itu merupakan tempat di mana kerajaan Malawapati berdiri. Di sekitar petilasan juga sering ditemukan batu bata yang katanya merupakan bekas dari kerajaan Malawapati. Dan spenulis juga pernah melihat ada sebuah makam di samping petilasan beliau. Setelah penulis tanya kepada nenek penulis, ternyata itu adalah makam dari prajurit kerajaan Malawapati pada saat itu. Selain itu, di samping petilasan juga katanya ditemukan sebuah sumur. Tetapi sampai saat ini penulis belum pernah melihat sumur itu secara langsung.
Angling Dharma pernah dijadikan ikon dalam kota. Selain itu, di beberapa event yang ada di Bojonegoro kebanyakan juga mengambil tema Angling Dharma. Sampai tim sepak bola dari Bojonegoro pun menamai timnya dengan julukan Laskar Angling Dharma. Selain itu, beberapa masyarakat dari luar desa Wotanngare juga sering berkunjung ke petilasan, baik untuk berziarah ataupun hanya untuk berwisata saja. Beberapa tahun lalu juga, ketika pemerintah kabupaten Bojonegoro mengadakan pemilihan Kange Yune, salah satu finalis dari mereka mengambil spot foto di petilasan Angling Dharma. Bukan hanya foto saja, mereka juga menjelaskan asal usul dari petilasan tersebut. Dengan begini, petilasan Angling Dharma bisa lebih dikenal oleh masyarakat luas. Bahkan, bisa juga dikenal oleh masyarakat luar dari kota Bojonegoro. Betapa sayangnya masyarakat Bojonegoro terhadap Prabu Angling Dharma.
Sejarah Angling Dharma ini telah melekat pada masyarakat desa. Pengetahuan mereka tentang Prabu Angling Dharma sudah tidak bisa diragukan lagi. Dengan adanya cerita tersebut secara turun temurun membuat yakin masyarakat desa bahwa benar adanya Prabu Angling Dharma, dan bukan hanya cerita dalam dongeng saja. Apalagi saat ini hamper semua orang menggunakan media sosial, tidak heran pula mereka menggunakan media sosial tersebut untuk mencari tentang asal usul Prabu Angling Dharma tersebut tanpa harus datang langsung ke petilasan dan bertanya kepada masyarakat sekitar. Menceritakan sejarah yang ada pada suatu desa kepada generasi penerus ini merupakan tradisi yang harus dilakukan oleh orang tua. Tradisi ialah adat istiadat, kebiasaan-kebiasaan tertentu yang dilakukan secara turun temurun dari nenek moyang hingga sekarang. Namun, tradisi seperti ini pada zaman sekarang sudah banyak yang melupakan. Padahal jika dikembangkan secara terus menerus ini membuat para generasi penerus tahu bahwa keberadaan raja dan kerajaan pada zaman dahulu itu nyata adanya bukah hanya ada dalam dongeng atau cerita rakyat. Kita tau bahwa cerita rakyat merupakan refleksi dari kehidupan yang diperoleh melalui imajinasi si penulis sehingga menghasilkan karya yang bisa dinikmati oleh para pembaca. Dan dalam cerita rakyat itulah ada nilai-nilai yang harus dikembangkan lagi seperti nilai sosial, moral, dan budaya dalam kehidupan manusia. (EN)
Biografi Penulis
Shabrina Mahira Solih, seorang mahasiswi program studi Psikologi Islam IAIN Kediri. Selain sibuk di dunia perkuliahan, penulis juga mengikuti organisasi : IMABO (Ikatan Mahasiswa Mahasiswi Bojonegoro) untuk mengenal lebih jauh tentang penulis dapat mengubungi shabrinamahira026@gmail.com
No comments