“New Normal”, istilah yang setiap hari tak pernah absen untuk menyapa telinga. Sebuah istilah yang akhir-akhir ini lebih asyik untuk diperdebatkan dari pada diterapkan. Miris dan terkesan lucu memang, saat perdebatan mengenai penyebutan antara “new normal” atau “adaptasi kebiasaan baru” nampaknya lebih menggoda untuk dibahas dari pada penerapannya itu sendiri. Melihat hal tersebut, semakin memicu kebingungan di masyarakat. Belum usai dalam memahami dan menerapkan “new normal”, sekarang sudah harus dituntut untuk memahami dan menerapkan “adaptasi kebiasaan baru”.
Sebagai informasi, istilah new normal adalah sebuah istilah yang mulai dikenal sejak merebaknya wabah Covid-19. Di mana Covid-19 selalu menjadi perbincangan hangat di seluruh kalangan masyarakat hingga selalu bertengger pada posisi pertama pembicaraan yang tak ada hentinya untuk selalu dibahas.
New normal atau era normal baru merupakan sebuah gagasan dan kebijakan yang diambil pemerintah guna menyikapi pandemi Covid-19. Semakin hari kasus positif Covid-19 semakin bertambah di Indonesia, khususnya Provinsi Jawa Timur, di mana epicentrum ada di Kota Surabaya. Entah apa yang membuat kasus ini kian hari kian bertambah. Yang pasti, seiring dengan pertambahan kasus positif Covid-19, prahara mengenai pandemi Covid-19 ini pun juga semakin banyak dan bervariasi. Diantaranya, banyak masyarakat yang tak mengindahkan protokol kesehatan saat menjalankan aktivitas, banyak tenaga medis yang gugur saat menjalankan tugas mulia, pengambilan jenazah positif Covid-19 secara paksa oleh keluarga, dan penolakan pemakaman jenazah positif Covid-19 oleh masyarakat setempat.
Kejadian-kejadian di atas sangat disayangkan bisa terjadi di negara ini, negara yang penduduknya majemuk dan katanya selalu menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi. Seharusnya, sikap yang demikian tidak ada, tapi nyatanya masih marak ditemukan. Bahkan dari hal yang sederhanapun, masyarakat masih belum bisa menerapkannya, banyak yang acuh akan aturan. Seperti yang penulis lihat saat observasi, yaitu banyaknya masyarakat yang tak mengindahkan anjuran memakai masker saat keluar rumah. Ini adalah contoh kecil dari acuhnya warga terhadap protokol kesehatan. Bagaimana mau membahas “new normal” ataupun “adaptasi kebiasaan baru” tatkala kesadaran untuk melakukan hal-hal kecil ini saja belum terbangun?
Menurut penulis, banyak masyarakat yang hanya sekadar tahu istilah new normal ataupun sejenisnya, akan tetapi mereka belum memahami apa arti new normal yang sesungguhnya. Hal tersebut penulis simpulkan dari hasil terjun langsung ke masyarakat saat mengedukasi dan mensosialisasikan tentang Covid-19 dan new normal pada warga di lingkungan sekitar penulis. Saat melakukan sosialisasi, penulis mendapati beberapa pandangan warga masyarakat mengenai pandemi Covid-19 ini, salah satunya, “Musibah ini dari Yang Maha Kuasa, kita sebagai manusia hanya menunggu saja kapan giliran kita diambil oleh malaikat”. Itu adalah sekilas pandangan warga dalam menyikapi pandemi Covid-19. Dia tidak pernah mengikuti protokol kesehatan yang ada dengan dalih bahwa setiap manusia tinggal menunggu antrian untuk diambil nyawanya. Saat pemberian sosialisasi pun, dia terlihat tidak mengindahkan hal-hal yang disosialisasikan oleh penulis.
Memiliki pemikiran seperti di atas adalah hak setiap orang, di mana setiap pemikiran itu diperoleh dari proses belajar, pengalaman sehari-hari, dan pengaruh lingkungan. Di mana setiap orang pasti memiliki pengalaman yang berbeda dan hidup di lingkungan yang berbeda pula. Jadi, memiliki pemikiran yang demikian adalah hal yang wajar dan sah-sah saja. Akan tetapi, bukankah menjadi lebih baik jika menyerahkan semuanya pada Tuhan Yang Maha Esa dan tetap dibarengi dengan usaha. Mengutip dari web dalamislam, pada Q.S. Yusuf ayat 87 dijelaskan bahwa, “Dan janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus dari rahmat Allah melainkan orang orang yang kufur”. Harapan selalu ada bagi orang yang percaya, hadapi setiap tantangan dalam hidup dengan niat mencari ridho-Nya, lakukan usaha semaksimal mungkin sesuai kemampuan disertai dengan doa. Bahaya putus asa dalam Islam sudah tertulis jelas dalam Al-Quran yaitu dia bukan termasuk golongan orang beriman.
Berdasarkan ayat di atas, dapat diambil makna bahwa meskipun manusia sedang diterpa cobaan yang amat besar, kita ditantang untuk melewati cobaan besar itu. Maka harapannya adalah manusia harus percaya bahwa apabila kita berusaha semaksimal mungkin disertai dengan doa niscaya Allah SWT akan memberi kita ridho-Nya. Dan janganlah manusia cepat berputus asa dalam setiap cobaan yang diberikan karena ia nanti bukan termasuk golongan yang beriman.
Jadi, alangkah lebih baiknya jika sikap yang diambil oleh warga tersebut adalah jangan hanya menunggu giliran untuk dipanggil Yang Maha Kuasa dalam cobaan Covid-19 ini. Akan tetapi diharapkan warga ini mau untuk berusaha mengikuti anjuran, mau menerapkan protokol kesehatan yang tentunya sudah disetujui oleh seluruh lembaga atau pemuka agama yang ada.
Pandangan lain dari warga mengenai Covid-19 adalah adanya rasa takut warga jikalau ada pemeriksaan kesehatan terkait Covid-19. Saat ditanya kenapa warga ini takut dengan pemeriksaan kesehatan, warga menjawab karena sudah mengikuti protokol kesehatan dengan baik maka baginya hal-hal seperti itu tidak perlu dilakukan. Meskipun kita sudah mematuhi dan disiplin dalam protokol kesehatan tetapi sebaiknya jangan merasa berpuas diri dulu dan menganggap semuanya baik-baik saja. kita harus tetap berhati-hati dan mencoba untuk tetap sehat, salah satu caranya adalah mengikuti tes pemeriksaan yang sudah disetujui dan resmi oleh RT/RW/kelurahan/kecamatan.
Pandangan dan sikap lainnya yang ditemukan penulis saat terjun langsung ke masyarakat yaitu ada warga yang sangat disiplin dalam mengikuti dan mematuhi protokoler kesehatan dari pemerintah. Ini merupakan temuan yang menggembirakan dikarenakan masih ada warga yang memiliki kesadaran tinggi untuk menerapkan hal ini. Warga ini sangat rajin melaksanakan shalat berjamaah di masjid dengan tetap mengikuti dan mematuhi protokoler kesehatan dari pemerintah, seperti saat sudah pulang dari masjid, dia selalu menjemur pakaian dan segala hal yang dipakainya saat ke masjid. Kemudian dia mandi dan memakai pakaian yang baru saat masuk rumah. Warga ini juga hanya keluar rumah saat ada kepentingan serta sellau sedia hand sanitizer saat berpergian. Kesadaran untuk menerapkan protokol kesehatan ini patut dicontoh oleh masyarakat lain tanpa terkecuali.
Kesadaran untuk mematuhi protokol kesehatan selama pandemic Covid-19 merupakan salah satu cerminan dari Q.S. Yusuf ayat 87, “Dan janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus dari rahmat Allah melainkan orang orang yang kufur”. Serta dalam Q.S. An-Nuur ayat 54, katakanlah, “Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada rasul; dan jika kamu berpaling maka sesungguhnya kewajiban rasul itu adalah apa yang dibebankan kepadanya, dan kewajiban kamu sekalian adalah semata-mata apa yang dibebankan kepadamu. Dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk …”. Maksudnya adalah saat kita dilanda dengan cobaan seperti pandemi Covid-19 ini jangan sampai kita berputus asa dan hanya pasrah tanpa ada usaha ataupun doa.
Beragam pemahaman dan kesadaran masyarakat dalam menyikapi pandemi Covid-19 adalah hal yang wajar terjadi. Akan tetapi, sebagai warga masyarakat, kita dianjurkan untuk selalu berusaha semaksimal mungkin dan tidak hanya berpangku tangan terhadap situasi yang demikian. Penulis berharap masyarakat mulai membangun kesadaran diri masing-masing dan tidak menganggap Covid-19 ini sebagai isapan jempol belaka. Semua elemen masyarakat harus bersatu padu untuk membangun kesadaran diri dalam mematuhi protokoler kesehatan agar pandemic Covid-19 ini segera berakhir. Masyarakat perlu melatih kesadaran diri mulai dari sekarang. Di mana latihan kesadaran diri adalah latihan sepanjang hayat dan tidak pernah ada batas akhirnya.
Sebagai informasi, kesadaran diri termasuk ke dalam ranah afektif, dan untuk mewujudkannya berkaitan dengan ranah kognitif dan psikomotorik. Ranah kognitif dimaksudkan ketika individu diharapkan memahami dan mengerti suatu konteks tentang dirinya dan tentang lingkungannya. Ranah psikomotorik berkenaan dengan tindakan atau performansi atau kecenderungan bertindak individu yang merupakan perwujudan bahwa ia telah memiliki kesadaran diri.
Jadi, penulis berharap masyarakat harus mulai berlatih kesadaran diri terlebih dahulu dengan mengerti dan memahami bahayanya Covid-19 dan apa saja yang ada di era normal baru (new normal). Kemudian melakukan bentuk kesadaran diri ini melalui tindakan mematuhi protokol kesehatan pemerintah terkait Covid-19 dan new normal. Selain itu, jangan lupa untuk selalu berdoa kepada Tuhan Yang Maha Esa agar vaksin atau obat Covid-19 segera ditemukan dan pandemi Covid-19 segera berakhir. Salam… (EN)
*Qurrota Ainy; adalah Mahasiswi aktif Psikologi Islam-IAIN Kediri (Email: ainyqurrota2@gmail.com)
No comments