Pancasila sebagai ideologi bangsa yang bersifat final tentunya harus dimaknai secara dinamis dan progresif. Pemaknaan secara dinamis dan progresif dalam Pancasila dimaksudkan supaya aspek ‘final’ hanya terkait rumusan nilai dalam Pancasila, sedangkan implementasi dan eksistensi Pancasila haruslah dilaksanakan secara terbuka, dinamis, serta mengikuti perkembangan zaman. Dalam hal ini, orientasi Pancasila untuk selalu mengikuti perkembangan zaman erat kaitannya dengan mendudukkan Pancasila sebagai living ideology. Sebagai living ideology, Pancasila tidak boleh didudukkan sebagai ideologi yang tertutup, doktriner, elitis, serta konservatif. Jika Pancasila digolongkan sebagai ideologi yang demikian, maka Pancasila bisa menemui jalan buntu bahkan fenomena the death of Pancasila tinggal menunggu waktu. Oleh karena itu, orientasi dan eksistensi nilai-nilai Pancasila harus selalu didiseminasikan dan disebarkan secara progresif dan tidak hanya dilaksanakan secara konvensional yang dilaksanakan melalui penataran, seminar, maupun simposium yang terkesan membosankan.
Sosialisasi dan diseminasi Pancasila sejatinya harus dilaksanakan secara progresif dan melihat aspek kekinian, terutama melihat trend dan aktivitas generasi muda. Hal ini dapat dipahami bahwa pemuda merupakan aset terpenting bagi kemajuan dan masa depan bangsa dan karena itulah maka dicanangkan orientasi ‘Generasi Emas Indonesia 2045’ yang nota bene akan diisi oleh pemuda Indonesia sebagai pemimpin sekaligus ‘arsitek agung’ masa depan bangsa. Meski begitu, harapan yang tinggi terhadap pemuda Indonesia tersebut merupakan hal yang sah-sah saja untuk dilakukan hal ini karena adanya dekadensi moral pemuda terutama dalam memahami dan menerapkan nilai-nilai Pancasila.
Pemuda Indonesia yang saat ini ‘lazim’ disebut generasi milenial sejatinya memiliki andil besar dan tanggung jawab dalam memajukan negara Indonesia ke depannya. Generasi milenial atau pemuda jika mendasarkan pada UU No. 40 tahun 2009 tentang Kepemudaan merupakan pemuda dengan rentang usia 16-30 tahun.
Dilansir dari detiknews.com, hingga tahun 2020 jumlah generasi milenial di Indonesia mencapai 64 juta jiwa. Dari 64 juta jiwa tersebut, berdasarkan laporan We Are Social tahun 2020, 90% pengguna internet dan media sosial adalah generasi milenial/pemuda. Padahal, internet dan media sosial memiliki dua dampak yang saling berantinomi. Di satu sisi memiliki dampak positif dan di sisi yang lain memiliki dampak negatif. Dampak positif dari internet dan media sosial antara lain: informasi yang mudah dan murah dapat diakses secara cepat, membuat pembelajaran menjadi lebih proaktif, serta meningkatkan kualitas literasi masyarakat. Dampak negatif dari internet dan media sosial di masyarakat antara lain: adanya informasi hoaks yang hingga akhir tahun 2020 mencapai 2000 lebih di era Pandemi COVID-19, adanya kejahatan siber (cybercrime) yang hingga tahun 2020 mencapai 2.259 kasus, serta adanya pornografi yang pada tahun 2019 justru diakses oleh 65,34% anak-anak dengan rentang usia 9-19 tahun.
Uraian di atas sejatinya menunjukkan bahwa adanya gadget, internet, dan media sosial justru lebih banyak berdampak negatif pada generasi milenial. Apalagi di era Pandemi COVID-19 yang telah berlangsung dari tahun 2020 sampai awal tahun 2021. Dengan adanya kebijakan untuk menghindari kerumunan, jaga jarak, hingga work from home membuat segala aktivitas manusia dilaksanakan secara digital dan online. Meningkatnya penggunaan media digital di tengah pandemi COVID-19 sejatinya perlu mendapatkan perhatian bersama karena pemuda dan generasi milenial yang diorientasikan sebagai ‘penerus bangsa’ justru menggunakan aspek digital sebagai media untuk bermain game online, menyebarkan informasi yang tidak jelas serta bertendensi hoax, termasuk mengakses situs-situs yang berbau pornografi. Dengan demikian, adanya pemanfaatan media digital di era Pandemi COVID-19 justru membuat tereduksinya nilai-nilai Pancasila di era digitalisasi. Pancasila seakan telah menjadi ‘barang’ yang usang dan hanya layak dijadikan ‘pajangan’ atau hanya dongeng pemanis tidur semata sehingga minim implementasi. Oleh karena itu, orientasi dan sosialisasi Pancasila dengan melihat perkembangan zaman perlu dilakukan untuk membuat nilai-nilai Pancasila menjadi eksis sekalipun di era pandemi COVID-19, kehidupan manusia didominasi kehidupan di dunia digital.
Pancasila, Milenial, dan Virtual Ideology
Sosialisasi dan diseminasi Pancasila yang terkesan pragmatis serta hanya berorientasi pada dunia faktual menjadi salah satu kendala yang dihadapi saat ini. Sosialisasi Pancasila yang terkesan praktis hanya mempersempit makna sosialisasi Pancasila yang hanya dapat dilakukan melalui forum formal seperti seminar, simposium, sekolah, ceramah, maupun kuliah umum. Cara-cara formal dalam mendiseminasikan nilai-nilai Pancasila tersebut sejatinya membuat generasi milenial menjadi bosan, jenuh, bahkan acuh tak acuh dengan Pancasila. Padahal, dunia milenial adalah dunia yang lekat dan penuh dengan dunia digital, termasuk dunia yang serba instan denngan segala fasilitasnya. Selain itu, sosialisasi dan diseminasi Pancasila juga terkesan seolah-olah didominasi dengan paradigma dunia faktual, misalnya saja implementasi sila kedua yang berbunyi “Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab” hanya dipersepsikan dengan memberi bantuan kepada orang lain maupun membantu orang lain yang kesusahan. Padahal, saat ini di era digitalisasi pemahaman sila kedua Pancasila harus dimaknai secara luas diantaranya membantu menyebarkan informasi kehilangan di media sosial, melakukan share terhadap pamflet kegiatan kemanusiaan, hingga berkomentar serta membuat ‘status’ yang sopan di media sosial. Oleh karena itu, Pancasila harus disosialisasikan secara progresif sehingga Pancasila dapat diorientasikan pula sebagai virtual ideology, yang mana nilai-nilai Pancasila dapat diterapkan sekaligus disebarkan melalui dunia maya/digital. Hal ini tentunya dengan memanfaatkan platform digital yang sedang digandrungi generasi milenial saat ini.
Pancasila sebagai Virtual Ideology, Mungkinkah?
Jika membaca serta merenungkan kembali Pancasila yang dijadikan sebagai modus vivendi oleh para founding leaders and the framers of constitution, maka Pancasila tidak boleh dipahami, dilaksanakan, serta disebarkan secara sempit hanya berdasarkan pada aspek tekstual dan leksikal belaka. Jika mengutip apa yang disampaikan oleh Ronald Dworkin, maka dalam membaca konstitusi tidak boleh hanya membaca secara tekstual dari konstitusi, melainkan juga menyibak makna mendalam dari konstitusi dengan mengedepankan pada moral reading of the constitution. Apa yang disampaikan oleh Ronald Dworkin tersebut sejatinya mutatis mutandis dengan cara membaca ideologi Pancasila. Dengan demikian, membaca ideologi Pancasila haruslah mengedepankan moral reading of ideology sehingga untaian lima sila dalam Pancasila dapat menunjukkan eksistensi dari pancaran moral sekaligus disosialisasikan secara progresif sesuai dengan perkembangan zaman.
Orientasi meneguhkan Pancasila sebagai virtual ideology sejatinya dilandasi oleh dua argumentasi pokok, pertama, sebagai ideologi bangsa maka Pancasila tidaklah diimplementasikan di dalam ‘ruang hampa’. Pancasila yang diharapkan dapat diimplementasikan di dalam samudera kemasyarakatan tentunya harus mengikuti perkembangan masyarakat dalam penyebarannya, meskipun secara nilai dan moral Pancasila harus tetap konsisten dalam menyemai kearifan lokal bangsa Indonesia. Kedua, salah satu fungsi Pancasila adalah sebagai margin of appreciation yang bermakna bahwa Pancasila tidak boleh antipasti terhadap sesuatu perubahan. Justru Pancasila harus menjadi leistern (bintang pemandu) yang menggarahkan perubahan tersebut kearah yang lebih baik. Dalam istilah Agama Islam, fungsi Pancasila sebagai margin of appreciation lazim dikenal dalam kaidah fiqh dengan ungkapan, “al-muhafadhotu ‘ala qodimis sholih wal akhdzu bil jadidil ashlah” yang bermakna bahwa Pancasila harus menjadi nilai pemandu terhadap hal-hal baik yang sudah ada, relevan, serta eksisten. Namun, Pancasila harus mampu pula untuk menggali nilai-nilai baru di tengah perkembangan zaman. Dalam hal ini, perkembangan teknologi digital semestinya tidak menjadi halangan dan hambatan dalam mendiseminasikan nilai-nilai Pancasila.
Upaya untuk mendiseminasikan nilai-nilai Pancasila sebagai virtual ideology misalnya dapat dilakukan dengan pemberian hadiah maupun apresiasi terhadap milenial pengguna media sosial yang tidak menyebarkan informasi hoax, membagikan konten-konten informatif dan edukatif, serta membuat ‘status’ atau hal-hal yang mencerahkan masyarakat umum. Pemberian hadiah dan apresiasi tersebut dapat dilakukan tentunya dengan kerjasama berbagai instansi terkait seperti kepolisian, Kementerian informasi dan komunikasi, hingga pemerintah daerah setempat. Generasi milenial dapat mendaftarkan akun media sosialnya untuk kemudian diakumulasi dengan adanya hadiah dan bentuk penghargaan lain. Hal ini penting karena sejatinya nilai-nilai Pancasila haruslah tetap diimplementasikan maupun didiseminasikan sekalipun di era pandemi COVID-19 mayoritas kehidupan manusia dilaksanakan secara digital. Untuk itu, orientasi Pancasila sebagai virtual ideology perlu digalakkan dan dikonstruksikan supaya nilai-nilai Pancasila tetap up to date dengan perkembangan masyarakat dan teknologi. Tentunya, tersimpan pesan sederhana dari tulisan ini, apakah kita rela nilai dan ideologi Pancasila menjadi ‘mayat-mayat ideologi’ yang bergelimpangan di tengah kemajuan teknologi? Semoga saja hal tersebut bisa dihindari dengan mengoptimalkan peran generasi muda saat ini. (DEW)
Biografi Penulis
Mahasiswa aktif jurusan Ilmu Hukum, Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum, Universitas Negeri Surabaya. Untuk mengenal lebih jauh tentang penulis dapat menghubungi e-mail pribadinya dickyekoprasetio@gmail.com
No comments