Apa itu disleksia? Di dalam buku How to Create Awareness Smart Kids (Cara Praktis Menciptakan Anak Sehat dan Cerdas) Vizara Aurin, menjelaskan bahwa disleksia berasal dari kata Yunani, Dys (yang berarti “sulit dalam.. ” dan Lex (berasal dari legein, yang berarti berbicara). Jadi, disleksia berarti “kesulitan dengan kata-kata”. Artinya, penderita ini memiliki kesulitan untuk mengenali huruf atau kata. Dikarenakan kelemahan otak dalam memproses suatu informasi. Stigma mengenai anak disleksia tidak selalu menjadi sosok yang kurang cerdas di antara teman-temannya yang tidak mempunyai gangguan belajar tersebut. Namun, di sisi lain anak dengan disleksia tetap mempunyai kecerdasan dan motivasi yang kuat. Mereka memiliki cara melihat yang berbeda, mungkin mereka sering kesulitan dalam melihat huruf-huruf. Namun, mereka dengan mudah melakukan pemecahan kode, simbol, dan juga kata kunci rahasia. Hal ini disebabkan karena imajinasi mereka yang luar biasa.
Hingga kini, belum diketahui cara untuk menyembuhkan kondisi anak dengan disleksia, karena disleksia bukan penyakit akut seperti TBC dan lain sebagainya. Menurut dr. Kristiantini Dewi, Sp.A yang merupakan ketua Asosiasi Disleksia Indonesia (ADI) menjelaskan bahwa “disleksia itu kondisi yang akan menetap sampai dewasa dikarenakan genetik”. Tetapi, dengan deteksi dan terapi disleksia sejak dini kita akan dengan mudah untuk menemukan cara belajar yang tepat dan penderitanya pun bisa bersekolah dengan anak yang lainnya.
Di dalam menemukan cara belajar yang tepat dibutuhkan peran guru dan orang tua. Peran guru dibutuhkan saat anak berada di sekolah, sedangkan peran orang tua adalah melengkapi peran guru ketika berada di rumah. Dukungan yang tepat bagi mereka akan meningkatkan kepercayaan diri dan interaksi sosial mereka. Berikut adalah strategi belajar yang dapat digunakan guru atau orang tua untuk membantu anak yang mengalami disleksia:
Metode Eja, mengajarkan cara membaca dengan teknik penggabungan huruf dan bunyi. Setelah anak menguasai huruf vokal dan konsonan kemudian belajar membaca dengan menggabungkan bunyi dari suku kata menjadi kata. Metode Fernaide adalah pengajaran membaca multisensoris atau metode VAKT (visual, auditory, kinesthic, and tactile). Metode ini menggunakan materi bacaan cerita dari kata kata. Metode Gilingham merupakan metode yang lebih terstruktur dan lebih mengarah pada penggabungan huruf dan bunyi. Metode ini diajarkan secara multisensoris menggunakan kartu huruf dengan warna yang berbeda. Selanjutnya, metode Kesan Neurologis yang terdiri dari kegiatan membaca bersama secara cepat antara guru dan siswa. Tujuannya anak dapat mendengar suaranya sendiri dan suara orang lain yang membacanya. Kelebihan metode ini yaitu kemajuan dalam berekspresi lisan.
Selain dari metode pembelajaran khusus yang diterapkan untuk anak disleksia peran orang tua, guru juga sangat penting dalam membantu mendidik anak disleksia yang pertama, dan tingkatkan motivasi pada anak seperti halnya membacakan sebuah cerita. Kemudian, memberitahukan segala manfaat yang bisa diperoleh dari membaca dan menulis dengan demikian anak akan termotivasi dan terdorong untuk bisa membaca dan menulis sendiri, Kedua, tingkatkan rasa percaya diri anak dengan selalu memberinya semangat bahwa dia bisa melakukannya. Ketiga, jangan salahkan anak disleksia atas kondisi yang dialaminya karena hal tersebut akan membuat anak semakin depresi dan hilang rasa percaya diri. Keempat, selalu dampingi anak dalam belajar apabila di sekolah peran guru lah yang paling penting karena dengan demikian anak akan selalu ingat apa yang dipelajarinya.
Anak pengidap disleksia yang mengalami keterlambatan dalam mengikuti proses pembelajaran mengharuskan untuk memiliki strategi dan metode pembelajaran yang unik sehingga diperlukan pemahaman mendalam atas disleksia dan kondisi yang dihadapi oleh pengidap disleksia dalam pembelajaranya. Dengan orang-orang memahami disleksia diharapkan semakin berkurang pula orang yang memiliki stigma negatif, bahwa anak itu kurang cerdas ketika belum mampu membaca dan menulis. Mereka hanya perlu bimbingan dan perhatian lebih untuk bisa berkembang. Menyalahkan ketidakmampuan mereka dengan tidak dibarengi dengan pendampingan dari orang tua dan guru, hanya akan membuat mereka semakin tertekan dan tidak mampu berkembang untuk mengikuti ketertinggalannya dalam pembelajaran. Perlu diingat bahwa setiap anak itu memiliki keistimewaan dan kecerdasannya sendiri.
REFERENSI
Loeziana, “Urgensi Mengenai Ciri Disleksia”, Dosen Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Ar-Raniry, 2017, 43.
Firdaus Anwar, 2015. “Bisakah Disleksia Disembuhkan?”, https://health.detik.com/ulasan-khas/d-3055361/bisakah-disleksia-disembuhkan, diakses pada 10 Agustus 2021 pukul 20.00.
Ratri Pratiwi, “Strategi Belajar dan Terapi Disleksia Pada Anak”, https://www.halopsikolog.com/strategi-belajar-dan-terapi-disleksia/, diakses pada 10 Agustus 2021 pada pukul 20.30.
Lilif Muallifatul Khorida Filasofa dan Miswati, Perkembangan Kognitif Anak Usia Dini Penyandang Disleksia: Studi Kasus Pada Lembaga Pendidikan di Indonesia”Journal Of Early Childhood and Character Education, Vol. 1, No. 1, 2021, 68-69.
Tamasse dan Jumraini. T, “Mengatasi Kesulitan Belajar Disleksia: Studi Neuro psikolinguistik”, 16-17.
PROFILE PENULIS
Ika Khoirun Nisak adalah mahasiswi Institut Agama Islam Negeri Kediri Jurusan Perbankan Syariah Semester 7. Penulis bisa dihubungi melalui alamat email khairunnissa387@gmail.com
No comments