SITUS PANJI BERTOPI DI DESA GAMBYOK KECAMATAN GROGOL

0

Cagar budaya merupakan warisan budaya yang memiliki sifat kebendaan berupa benda cagar budaya, bangunan cagar budaya, struktur cagar budaya, situs cagar budaya, serta kawasan cagar budaya di darat dan air yang harus dilestarikan keberadaannya dikarenakan mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, kebudayaan melalui proses penetapan. Hal tersebut tertera dalam pengertian benda cagar budaya menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 Pasal 1 (ayat) 1.

Sedangkan, menurut Undang-Undang Nomor 5/1992 Pasal 1 dinyatakan bahwa benda cagar budaya adalah benda buatan manusia, bergerak atau tidak bergerak yang berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagian atau sisa-sisanya yang berusia atau berumur sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, atau mewakili masa gaya yang khas dan mewakili masa gaya sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, serta dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu penegetahuan, dan kebudayaan, dan benda alam yang dianggap memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan. Situs cagar budaya merupakan salah satu benda hasil akal budi manusia yang harus diberikan pencagaran atau perlindungan, karena apabila tidak ada perlindungan dikhawatirkan dapat mengalami kerusakan dan kepunahan.

Situs Panji Gambyok terletak di Desa Gambyok Kecamatan Grogol Kabupaten Kediri, situs ini terdiri dari struktur bata kuna dan sebuah batu berelief cerita panji yang ada dalam situs tersebut merupakan sebuah lakon atau tokoh-tokoh nyata yang sangat legendaris dalam sejarah Jawa terutama wilayah Jawa Timur. Relief panji ini dipahatkan pada sisi batu andesit yang diperkirakan berasal dari abad XIII Masehi. Keunikan relief Panji Gambyok ini adalah gaya pahat, tokoh, serta cerita yang ditampilkannya selaras dengan nuansa panji.

Tokoh Panji di Jawa Timur digambarkan dalam sebuah relief pada candi-candi yang ada di Jawa Timur khusunya dengan figur yang mengunakan topi, akan tetapi tidak semua figur bertopi dalam relief candi-candi yang ada di Jawa Timur disebut seorang panji. Misalnya, dalam relief pada Candi Penataran dan Candi Surowono lakon Sidapaksa dalam kisah Sri Tanjung juga digambarkan menggunakan topi layaknya panji. Namun, dalam relief Panji Gambyok berdasakan penafsiran W.F. Stutterheim dan Poerbatjaraka memiliki keistimewaan karena adanya penggalan dari kisah Panji pada masa keemasan Kerajaan Majapahit dan merupakan visualisasi dari satu babak kisah cerita “Panji Semirang.” Tokoh-tokoh yang digambarkan dalam relief ini adalah Punta, Kertala, Brajanata, Pangeran Anom, Semar dan Panji Asmarabangun (yang sedang duduk dengan kaki berlipat di depan kereta berdoa dua).

Di dalam sejarah Kerajaan di  Jawa yang tertuang pada Hikayat Panji Semirang dikisahkan bahwa Panji Semirang sebenarnya merupakan Galuh Candra Kirana atau sebagian besar masyarakat mengenalnya dengan Dewi Sekartaji seorang putri Mapanji Garasakan dari Kerajaan Jenggala. Seorang Raden Inu Kertapati atau lebih dikenal dengan Panji Asmara Bangun seorang putra dari Sri Samarawijaya dari Kerajaan Panjalu atau Kerajaan Kediri. Mapanji Garasakan dan Sri Samarawijaya merupakan anak Prabu Airlangga dari Permaisuri yang bernama Dewi Laksmi dan Dewi Sri, kedua arcanya kini berada di sebuah Candi Belahan “Sumber Tetek” yang berlokasi di Pasuruan Jawa Timur.

Kala itu sebuah Kerajaan Prabu Airlangga yang bernama Kahuripan harus terpecah menjadi dua bagian karena adanya perebutan kekuasaan. Peristiwa pembelahan atau pembagian Kerajaan ini termuat dalam Serat Calon Arang, Kitab Negara Kertagama dan pada Prasasti Turun Hyang tahun 1044. Setelah adanya kejadian itu Prabu Airlangga turun tahta sehingga menjadi seorang pertapa dengan mendapatkan gelar Resi Aji Paduka Mpungku (dalam Prasasti Sumengka tahun 1059).

Sebenarnya Prabu Airlangga memiliki 2 orang adik bernama Marakata Pangkaja dan Anak Wungsu, akan tetapi mereka meneruskan tahta dari Raja Udayana di daerah Bali dari Trah Marwadewa yang didirikan oleh Sri Kesari Warmadewa. Di dalam peristiwa pembagian kerajaan Kahuripan terjadi perang saudara antara Kerajaan Jenggala dan Kerajaan Kediri untuk menyatukan kembali kerajaan tersebut dengan menggunakan jalan penyatuan ikatan pernikahan. Awalnya Kerajaan Jenggala yang memenangkan pertarungan tersebut akan tetapi pada akhirnya Kerajaan Kediri lah yang memenangkannya. Dengan Maharaja Jayabaya/Sri Aji Joyoboyo sebagai pewaris tahta Prabu Airlangga yang berhasil megalahkan Kerajaan Jenggala dan mempersatukan kembali dengan Kediri. Peristiwa tersebut termuat dalam Prasasti Ngantang tahun 1135 Masehi dengan semboyan “Panjalu Jayati” yang memiliki arti bahwa Kediri Menang.

Bagian relief dalam situs Panji Gambyok berdasarkan penggambaran Poerbatjaraka tahun 1968 sesuai dengan salah satu kisah Panji Semirang yaitu pada saat bertemu dengan kekasih pertamanya yang bernama Martalangu atau disebut dengan Dewi Anggreni seorang putri dari Kyai Patih Kudanawarsa di dalam hutan ketika sedang berburu. Pada panil relief situs Panji Gambyok digambarkan ada seorang tokoh pria yang bertopi tekes sedang duduk di kereta, itu merupakan lakon atau tokoh Panji Asmarabangun atau Raden Inu Kertapati. Sedangkan, tokoh yang sedang duduk di depannya yang berada di atas tanah adalah Prasanta.

Tokoh penting di antaranya yaitu 4 orang berdiri dengan diawali Pangeran Anom, Panji Bajranata, dan 2 “kadehan” yaitu Punta dan Kertala. Di dalam relief tersebut juga digambarkan bahwa sebuah kereta yang belum dilengkapi dengan kuda karena sesuai dengan alur cerita bahwa mereka semuanya baru berencana akan membawa Martalangu atau Dewi Anggreni dari hutan menuju kota. Namun, beragam versi mengenai kisah panji, akan tetapi jelas bahwa mengenai kepahlawanan dan asmara dua tokoh utamanya yaitu seorang pria yang bernama Raden Inu Kertapati atau lebih dikenal dengan Panji Asmarabangun dari kerajaan Jenggala dan seorang tokoh wanita dengan nama Galuh Candra Kirana atau lebih dikenal dengan Dewi Sekartaji dari Kerajaan Kediri.

Pada situs Panji Gambyok terdapat sebuah gapura yang digunakan sebagai pintu masuk dan pintu keluar dari lokasi situs tersebut. Bentuk gapuranya pun juga menyerupai dengan bentuk gapura Wringin lawang atau Gerbang Pintu Beringin. Bentuk gerbang tesebut sangat lazim dijumpai dalam sebuah situs cagar budaya, gerbang ini memiliki gaya candi bentar atau tipe gerbang terbelah. Gaya arsitektur tersebut diperkirakan muncul pada masa Kerajaan Majapahit. Bentuk gerbang tersebut sudah diperbarui dengan dibangun ulang dan kini gaya gerbang tersebut sudah banyak ditemui dalam kediaman penduduk terutama di wilayah Bali. Gaya tersebut memiliki mitos bahwa bentuk gerbang terbelah merupakan pintu masuk untuk menuju tempat yang suci dan agung, sehingga hampir dalam setiap bangunan cagar budaya seperti candi terumata di wilayah Jawa Timur memiliki bentuk gerbang seperti di atas yaitu gerbang terbelah.

Bentuk gerbang terbelah saat ini dilestarikan oleh masayarakat dengan adanya membangun gerbang di depan rumah dengan bentuk dan gaya seperti gerbang Wringin Lawang. Tetapi, dengan ukuran lebih kecil dan simpel karena adanya keyakinan dan mitos dalam masyarakat bahwa ketika sebuah bangunan memiliki gerbang terbelah maka bangunan tersebut seperti dijaga layaknya rumah seorang Raja Kerajaan Majapahit dan rumah atau bangunan tersebut akan dianggap suci sehingga pemiliknya akan dihormati oleh orang lain.

Menurut studi kasus dalam sudut pandang Islam, kata gapura memiliki makna pertaubatan atau pengampunan karena berasal dari kata bahasa Arab Ghafara yang mempunyai arti memohon maaf. Terkait dengan makna dan fungsi dari bentuk bangunan gapura, maka ada beragam versi dan sudut pandang yang ada di masyarakat tergantung setiap individu memaknainya dari sudut pandang yang mana, hanya saja kita sebaiknya menghargai dan menghormati setiap sudut pandang yang digunakan dan yang dijadikan landasan oleh masyarakat. Dalam konsep ini penulis memaknai gapura yang menyerupai bentuk candi bentar memiliki makna sebagai pintu masuk dan sekaligus pintu keluar dari tempat yang dianggap suci atau sakral.

Di dalam lokasi situs Panji Gambyok sebuah relief tersebut berada dalam lindungan sebuah bangunan dan diberikan pagar besi agar benda cagar alam itu terpelihara keasliannya dan untuk melindungi dari kerusakan yang disebabkan oleh manusia ataupun oleh alam. Bangunan tersebut dibangun saat adanya peresmian cagar budaya tersebut. Ketika seorang pengunjung atau tamu untuk melihat sebuah relief tersebut diharapkan untuk mengucapkan salam dan melepas alas kakinya ketika menginjakkan kaki dalam bangunan itu. Gunanya untuk menghormati dan menghargai sebuah warisan dari hasil karya leluhur kita.

Bangunan tersebut juga memiliki simbol keseimbangan alam dengan ditunjukkan adanya kain kotak-kotak hitam putih atau disebut dengan istilah kain poleng atau saput poleng. Saput memiliki makna kain yang membalut dan poleng merupakan istilah untuk warna hitam putih yang berselang-seling yang disebut merupakan lambang dari Rwa Bhineda atau keseimbangan alam. Penyematan kain tersebut terdapat dalam tiang bangunan dan pohon besar yang ada dalam lokasi situs Panji Gambyok. Jika sebuah pohon atau bangunan dikenakan kain tersebut itu memiliki makna adanya yang bersemayam zat yang menghitam-putihkan dunia ini. Warna tersebut diyakini merupakan sebuah manifestasi keseimbangan alam jagat raya dengan adanya yang benar dan tidak benar, ada yang bersih dan ada yang kotor. Sehingga dalam sebuah benda cagar budaya akan terdapat kain poleng yang disematkan untuk memberikan simbol keseimbangan alam.

Dalam menjaga keseimbangan hidup di dunia ini, kita sebagai manusia setidaknya harus merawat dan melindungi salah satu cagar budaya yang ada di sekitar kita. Bersyukur dan tidak merusak sebuah warisan budaya yang ada di depan kita. Bentuk penghormatan kita sebagai manusia kepada alam dan makhluk sekitar salah satunya dengan mengunjungi cagar budaya yang ada di sekitar kita dan tak lupa memberikan salam ketika memasuki sebuah wilayah yang dihormati dan dilindungi. (DEW)

BIOGRAFI PENULIS

*) Binti Fitriyah

Penulis bernama lengkap Binti Fitriyah yang merupakan mahasiswi aktif dari Prodi Psikologi Islam IAIN Kediri dan lebih hangat disapa dengan Binti atau Zuma. Penulis dapat dihubungi melalui media sosial instagram zuma_binti atau email zumabinti@gmail.com

About author

No comments

HEDONISME LEBARAN INDONESIA DI MUSIM CORONA

Membaca buku Mocthar Lubis dalam mendeskripsikan karakter utama manusia Indonesia membuat saya mengernyitkan dahi. Beliau  mendeskripsikan manusia Indonesia dengan penuh hal-hal negative seperti  manusia Indonesia ...