STUDI KASUS DESA “LEBO”: PENGARUH POSITIF KEGIATAN KEAGAMAAN TERHADAP SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT

0

Desa lebo, bertempat di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Lebo merupakan sebuah desa yang hampir seluruh wilayahnya terbentuk dari masyarakat keagamaan dan budaya. Terdapat pusat-pusat keagamaan di sana, pondok pesantren Bumi Sholawat yang diasuh KH Agus Ali Mashuri, seorang tokoh Nahdlotul Ulama’ dan tokoh nasional.

Selain itu terdapat berbagai kegiatan rutin di Lebo, dua pengajian rutin Senin malam. Satu  bertempat di pondok pesantren yang langsung diisi oleh KH Agus Ali Mashuri, dan bertempat di mushollah sedesa Lebo secara bergiliran yang diasuh oleh KH Wahid Harun pengasuh pondok pesantren Tanggulangin, Sidoarjo.

Pengajian rutin dan sholawat Remaja Masjid Lebo, yang bertempat di masjid, pada setiap Sabtu malam. Serta berbagai acara yang bersifat even memperingati hari-hari besar agama dan nasional. Terdapat pula pusat kegiatan masyarakat dan anak-anak yang setiap harinya ramai. Yakni TPQ, terdapat beberapa TPQ besar di desa ini dan berbagai TPQ kecil yang tersebar.

Pondok pesantren Bumi sholawat dibangun pada tahun 2010, mengadakan pengajian rutin setiap hari Senin malam di masjid pondok. Tidak hanya masyarakat desa saja, banyak masyarakat luar desa bahkan luar kota yang mengikuti pengajian tersebut. Kegiatan tersebut selain mencerdaskan masyarakat tentang keagamaan serta wawasan juga merupakan sarana perekonomian masyarakat. Pengajian rutin yang digelar di ponpes bumi sholawat dimulai pada pukul 19.00 sampai 21.30.

Setiap hari senin tidak kurang dari 20 orang penjual aneka ragam makanan, minuman, dan aksesoris. Tidak hanya dari dalam desa saja yang membuka lapak untuk berdagang, namun banyak juga dari luar desa. Sebelum masa pandemi, para pedagang mengaku memperoleh keuntungan hingga 50%, kini setelah adanya pembatasan sosial berimbas pada jumlah peserta pengajian berkurang dan secara otomatis omset pedagangpun ikut merosot tajam. Bahkan pada awal pandemi seluruh kegiatan pondok telah dihentikan untuk beberapa waktu. Secara tidak langsung kegiatan agama ini sangat berdampak pada masyarakat baik dalam sektor kebudayaan ataupun ekonomi.

Pengajian rutin bergilir Senin malam, merupakan suatu kegiatan pengajian yang bersifat umum/terbuka. Bisa diikuti oleh seluruh lapisan masyarakat  baik remaja, dewasa, tua semua ikut berbaur dalam pengajian yang cenderung lebih banyak membahas fiqih tersebut. Dikemas dengan gaya pengajian santai dan bahasa yang sederhana membuatnya mudah diserap oleh khalayak umum.

Selain sebagai forum agama tentu saja kegiatan ini bernilai silaturahmi, karena setiap bergilir dari satu musholla ke musholla lain secara tidak langsung mempererat hubungan antar masyarakat desa, memberi dampak positif pada sosial kebudayaan.

Pengajian rutin dan sholawat REMAS adalah titik penting dalam perkembangan remaja desa. Memiliki fungsi untuk memakmurkan dengan berbagai kegiatan di dalamnya, setidaknya ada dua agenda rutin setiap satu bulan sekali pada Sabtu pagi hingga malam. Diawali khotmil Quran yang diikuti oleh remaja dan masyarakat umum mulai shubuh sampai ashar, dilanjutkan pengajian rutin setelah maghrib, dan ditutup pembacaan sholawat setelah Isya’.

Kegiatan ini bernilai positif terlebih pada generasi muda desa. Dilaksanakan pada waktu rawan dimana kebanyakan pemuda larut dalam suasana weekend yang cenderung negatif, mereka difasilitasi dengan perkumpulan tersebut. Tentu tidak semua sependapat dengan hal ini, tapi setidaknya ada filter di tengah masyarakat muda.

Kegiatan mengaji bagi anak-anak di sore hari, menjadi pelengkap keagamaan di desa ini. Baik yang dikelola perorangan, yayasan, maupun lembaga. Berbagai metode terdapat di dalamnya. Tidak ada salahnya memilih mengaji dimana, yang jelas setiap tempat memiliki cara dan keunikan masing-masing.

Anak-anak dan orang tua bebas memilih, ada yang suka dengan cara belajar sederhana yang biasa dikelola perorangan tetap mendapat tempat di tengah masyarakat. Memiliki keunggulan pada sisi individual, setiap murid akan diperhatikan satu persatu. Pada sitem ini memiliki waktu yang luwes, tidak membebani finansial, dan mudah dijangkau karena sifatnya yang dekat dengan rumah-rumah penduduk.

Ada pula sistem model yayasan, sistem ini memiliki keunggulan pada kontrol langsung murid saat pengajaran. Biasanya pemilik yayasan akan memilih satu metode pengajaran yang praktis. Keunggulan lain pada model ini adalah aspek pengajaran klasikal yang lebih ditekankan.

Model lembaga, model ini dinilai sebagai pembelajaran independen. Berdiri dan dikelola secara swadaya, berhak menentukan metode pengajaran yang menginduk dari metode pusat, bersifat mengikat dan paten. Memiliki keunggulan pada sifatnya yang independen, membuat setiap santri di dalamnya dituntut sesuai dengan kemampuannya.

 Penulis tertarik pada metode progam belajar Al-quran (yang dianut salah satu Majelis Ta’lim) tanpa menurunkan nilai hormat pada metode lain. Di dalamnya terdapat beberapa tingkatan kelas yang disesuaikan dengan santrinya.

  1. Kelas pra-sekolah diisi oleh santri yang baru mendaftar pada umumnya usia pra-sekolah meskipun tidak menutup kemungkinan adanya santri yang sudah sekolah. Disini terdiri dari tiga tingkatan kelompok belajar A, B, dan C. Setiap kelompok mempelajari perkenalan 28 huruf hijaiyah beserta hukumnya. Di kelas ini cara belajarnya cukup menyenangkan dan atraktif.
  2. Kelas 1, terdiri dari tiga tingkatan kelompok belajar. Pada kelas ini merupakan pengulangan pada kelas pra-sekolah, hanya saja pada kelas ini santri akan langsung mempelajari tingkatan kelompok terakhir, yang berisi cara membaca huruf hijaiyah yang bersambung serta mengerti hukumnya.
  3. Kelas 2, terdiri dari dua tingkatan kelompok belajar. Pada tingkatan yang pertama santri akan dikenalkan berbagai macam harokat (tanda baca) serta hukum membacanya. Sedangkan pada tingkat kedua santri akan dikenalkan pada bacaan panjang pendek beserta hukumnya.
  4. Kelas 3, terdiri dari dua tingkatan kelompok belajar. Pada umumnya pada kelas ini diperkenalkan dengan bacaan bersukun dan hukumnya serta penekanan pada makhroj huruf tertentu, yang tersusun sistematis pada tiap tingkatnya. Kelebihannya adalah santri akan dikenalkan satu persatu hukumnya bukan hanya sekadar contoh, melainkan melalui latihan berulang.
  5. Kelas 4, terdiri dari dua tingkatan kelompok belajar. Mulai dari sini santri dikenalkan dengan hukum bacaan ikhfa’, ghunnah, tasydid, idghom mim, idghom bilaghunnah, idghom syamsiyah, berbagai macam mad serta penekanan makhroj huruf tertentu.
  6. Kelas 5, terdiri dari dua tingkatan kelompok belajar. Disini merupakan kelanjutan santri mengenal berbagai macam hukum tajwid dengan langsung membacanya diawali dengan idghom bigunnah, macam jenis waqof, qolqolah, iqlab serta penekanan makhroj huruf tertentu. Pada kelas ini pula santri akan dikenalkan pada surat-surat tertentu dalam Al-Quran, sehingga santri dapat langsung berlatih membaca satu surat utuh.
  7. Kelas 27, terdiri dari satu tingkatan kelompok belajar. Sesuai nama kelas 27, yang berarti juz 27. Disini merupakan pengaplikasian dari kelas awal hingga kelas 5, santri dinyatakan mampu membaca bila mampu mengaplikasikan semua materi yang tersampaikan.
  8. Kelas 6, terdiri dari satu tingkatan kelompok belajar. Materi yang disampaikan lebih banyak hukum idzhar dan surat-surat serta potongan awal surat ayat Al-quran. Dengan didampingi membaca Al-Quran diharapkan santri sudah mulai pada tingkatan mahir dasar dalam membaca Al-Quran.
  9. Kelas Al-Quran terdiri dari tiga kelas, dalam satu tingkatan pada masing-masing kelas. Pada kelas awal santri akan melancarkan serta mempertegas bacaannya. Pada tingkat pertengahan santri akan mulai mengenal bacaan hati-hati (musykilat) umum dalam Al-Quran. Pada tingkat akhir santri akan belajar serta memahami teori-teori dasar tajwid yang dikemas praktis.
  10. Kelas akhir, merupakan tingkatan akhir dalam pembelajaran membaca Al-Quran pada tingkat dasar. Yang nantinya santri akan di-taskhi oleh pen-taskhi.

Setelah nantinya lulus maka santri berhak melanjutkan ke tingkat selanjutnya. Di Majelis Ta’lim ini terdapat dua progam lanjutan yakni tahfidzul Quran, dan progam diniyah 1-6. Terdapat syarat-syarat tentunya yang harus dipenuhi.

Dalam progam tahfidzul Quran terdiri dari berbagai tingkatan, yang tentunya dengan syarat usia maksimal 6 tahun ke bawah. Disini dengan harapan sebelum anak usia baligh atau tidak jauh dari setelahnya dapat khotam hafal 30 juz atau sebagian juz dalam Al-Quran sesuai dengan kemampuan santri. Bila diestimasi membutuhkan waktu 2-4 tahun atau lebih.

Dalam progam diniyah terdiri dari enam tingkatan kelas, dimana mayoritas diisi oleh santri-santri yang sudah baligh. Dengan tujuan menjaga bacaan Al-Quran yang sudah dipelajari serta meningkatkannya dengan memperdalam ilmu bacaan. Baik makhorijul huruf, tajwid, ghoribiul Quran, ditambah dengan hafalan Quran pada tiap tingkatnya sehingga mencapai 30 juz atau sesuai kemampuan santri.

Progam diniyah juga mempelajari kitab-kitab sesuai dengan tingkatanya, mulai dari kitab ilmu alat, tauhid, sejarah (tarikh), akhlak, tafsir, hadist, dan kajian-kajian fiqih. Tentunya semua pada tingkat dasar, sehingga diharapkan bila santri melanjutkan ke pondok pesantren sudah memiliki dasar pengetahuan dan kajian-kajian agama, dan bila melanjutkan ke jalur umum santri akan tetap memegang teguh dasar-dasar agama yang dimiliki.

Bagi masyarakat dewasa, tidak perlu risau. Terdapat progam dewasa yang waktunya dapat disesuaikan. Banyak kakek, nenek, ibu rumah tangga bahkan bapak-bapak yang meluangkan waktunya untuk belajar dasar-dasar Al-Quran. Tentunya pada usia ini terdapat treatment yang berbeda. Di samping belajar membaca juga sering disisipi kajian-kajian rohani yang disesuaikan dengan waktu dan kondisi.

Kegiatan-kegiatan keagamaan kemasyarakatan di Desa Lebo memiliki dampak pada setiap lapisan masyarakat dalam berbagai sektor. Pada anak tentunya kegiatan ini berpengaruh secara langsung pada pertumbuhan pola fikir anak, dengan mengaji anak diharapkan mampu membaca dan memahami kitab sucinya. Dengan berkumpul dalam wadah organisasi REMAS anak dapat mengamalkan apa yang diperoleh tepat di tengah masyarakat, dan belajar menghormati yang lebih tua.

Bagi remaja berkesempatan untuk menambah wawasan dan pengetahuan melalui kajian-kajian rutin. Dapat menerapkannya dalam organisasi REMAS dengan mengadakan event-event keagamaan nasional, dan belajar mengelola sistem organisasi yang merangkul lapisan anak-anak dan orang tua dalam artian menyayangi yang muda dan menghormati yang tua.

Bagi orang tua merupakan kebutuhan rohani mereka, dengan kajian rutin dapat menambah rasa takwa keimanan. Dan berfungsi penting sebagai pengawasan dalam kegiatan organisasi remaja anak-anak. Mereka memiliki tanggung jawab moral sebagai orang tua dalam artian menyayangi (mendidik) yang muda.

Menurut pandangan opini publik penjabaran di atas menunjukan kegiatan keagamaan masyarakat berpengaruh positif terhadap lingkungan sosial budaya. Meski terdapat hal-hal negatif di dalamnya, tapi itu lebih karena ketidakmampuan atau penyelewengan oknum-oknum tertentu. (EN)

Biografi Penulis

*) Ismi Rahmawati

Ismi Rahmawati seorang mahasiswi aktif program studi Komunikasi dan Penyiaran Islam  Institut Agama Islam Negeri Kediri. Kini tinggal di Kabupaten sidoarjo. Email: ismirahmawati557@gmail.com.

About author

No comments