Tadabbur Mahasantri: Kiprah Santri Sebagai Katalisator dengan Implikasi Self Regulation dalam Wajah Islam di Tanah Pertiwi

0

Perjalanan seorang santri dari bilik-bilik pesantren yang mengarungi dalam dirinya sebuah rasa keikhlasan, sabar, tawadhu’. Di dalam menemukan wajah Islam di Negeri Indonesia akan selalu menarik untuk didiskusikan tiap pearadaban yang memiliki karateristik yang berbeda-beda. Apalagi seorang santri yang menjadi peran dalam memancarkan wajah Islam untuk dipotret dalam sebuah sejarah dengan pola keberagamannya yang beragam yang mana dilihat dari segi pemeluk ajaran Islam serta tradisi lokal. Kita dapat merujuk yang dikembangkan oleh pemikiran Bruce B. Lawrence yaitu Islam adalah banyak. Sama seperti halnya tidak ada satu Amerika, Eropa ataupun Barat, begitu pula tidak ada satu pun penjelasan pas yang melukiskan berbagai kelompok maupun orang dengan nilai dan arti yang sama. Juga tidak ada lokasi tunggal ataupun budaya seragam yang identik dengan Islam. B. Lawrence memandang bahwa seorang santri akan memiliki pedoman sebagai seorang katalisator dalam menorehkan pola kesilaman dalam penyebaran ke dunia.

Banyak sekali yang menjadi wajah Islam dari kalangan ulama’ yang mana dari latar belakang seorang santri. Seperti yang diketahui, perjalanan kehidupan santri mayoritas untuk mengakomodinir memasukkan nilai-nilai Islam serta norma-norma yang berlaku di dalam syariat Islam. Lantas, ada apa dengan santri ? Karena dalam kehidupan pesantren yang khas dengan toleransi dan keramahan yang tidak terlepas dalam jiwa seorang santri. Kedatangan Walisongo ke tanah Jawa bukan untuk menaklukkan Jawa, akan tetapi untuk mengembangkan tanah Jawa yang telah beradab dengan cara mengakui hak-hak kultural dalam masyarakat itu sendiri yang selama ini dikembangkan, dengan hal tersebut dapat dijadikan sebuah acuan ketika seorang santri memiliki kiprah denagn tuntunan Syaikhona.

Hal ini sejalan dengan pemikiran yang dikemukakan oleh Dr. Setia Budi yaitu jika tidak karena pengaruh serta didikan agama Islam, maka patriotisme bangsa Indonesia tidak akan sehebat seperti yang diperlihatkan oelh sejarah hingga mencapai kemerdeaan. Dengan pernyataan hal ini, maka peran dunia pesantren dan kalangan umat Islam ikut andil besar dalam kontribusi di tanah pertiwi ini karena para tokoh pergerakan tidak bisa terlepas yang dari namanya pesantren serta spirit Islam. Itulah sebabnya kita harus bangga menjadi seorang santri. Namun, sangat disayangkan manakala peran santri juga menjadi sebuah simbol bangsa ini menjadi ingatan sebagian kalangan tertentu saja. Santri dilihat dari kedudukannya seperti halnya anak didik yang memerlukan bimbingan dan pengarahan yang konsisten melalui para ahli agama Islam agar dapat mengoptimalkan kemampuan fitrahnya. Tidak hanya sebagai objek pendidikan tetapi juga menjadi subjek pendidik. Hal ini santri dapat dilibatkan dalam berbagai kegiatan kepemimpinan agar dapat memecahkan masalah.

Sebagai manusia terdidik, santri tidak hanya memiliki kemampuan akademis pada umumnya lebih dari itu. Mereka  juga harus memperhatikan adab. Hal demikian ttelah disinggung dalam kitab Imam al-ghazali, cukup memberi ilustrasi tentang bagaimana menjaga adab dan juga tata krama dalam kehidupan. Sehingga dapat dijadikan pedoman agar mampu mencapai kenyamanan dan kebahagiaan hidup.

Menelisik masa lalu, santri memiliki peranan penting dalam menorehkan sejarah yang baik bagi Indonesia, dedikasi santri sangat berpengaruh bagi bangsa dan negara pasalnya andil yang diberikan santri dalam mewujudkan cita-cita kemerdekaan telah berhasil diraihnya. Saat ini, santri juga tetap beperan memajukan bangsa dengan mengabdi ke pesantren. Mengemban ilmu lebih lama daripada peserta didik pada umumnya. santri juga disibukkan pada kegiatan-kegiatan positif, melatih kemandirian, mental hingga sosial.

 Dapat dipastikan  self regulation (kemampuan pengaturan diri) pada santri dipengaruhi oleh beberapa faktor yang pertama, yaitu eksternal yang dapat mempengaruhi self regulation dengan dua cara : 1. Standar untuk mengevaluasi tingkah laku individu saat berinteraksi di lingkungan sekitar. 2. Penguatan. Standar ini biasanya mengacu pada perilaku santri unutuk dapat bekerjasama dengan baik. Faktor yang kedua, yaitu internal yang memiliki tiga bentuk pengaruh pada self regulation antara lain : 1. Obervasi diri mengacu pada perilaku santri berdasarkan kualitas dan kuantitas yang dimiliki bagaimana performa yang sudah dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. 2. Proses penilaian mengacu pada kesesuaian perilaku pada diri pribadi santri kemudian, dibandingan dengan perilku orang lain. 3. Reaksi diri yakni respon positif maupun negatif atas perilaku yang dimilikinya dan diukur dengan perilaku yang menjadi  standar ukurannya. Ini dapat diupayakan dengan membangun strategi reaktif dan proaktif dalam mengatur dirinya dan menetapkan sebuah tujuan yang ingin dimiliknya.

Self regulation dalam prespektif Islam itu sendiri sudah banyak dijelaskan dalam ayat-ayat al-Quran di antaranya menjelaskan bahwasannya self regulation dapat dilihat dalam aspek perencanaan, dimana untuk mencapai suatu tujuan diperlukan suatu rencana dan usaha yang baik. Melalui rencana kita bisa menganalisa kebutuhan dan target-target yang akan kita capai. Selain dari perencanaan self regulation sebagai seorang penuntut ilmu berhak untuk memelihara dirinya dari azab terhadap perilaku yang sudah dilakukannya. Di dalam proses pencapaian tujuan yang diinginkan sebisa mungkin santri harus dapat mengatur dan mengendalikan perilaku baik buruknya. Indonesia mempunyai harapan besar untuk santri, mengangkat nama baiknya ke seluruh pelosok bahkan belahan dunia. Oleh karena itu, Indonesia butuh banyak lagi sosok seorang santri apalagi di masa seperti ini, sudah mulai memudar akhlak yang berpegang teguh Al-Quran dan memudar ke-Islamannya. (DEW)

Biografi Penulis

Aulia Rofiqoh dan Nisfa Nur Azizah

Aulia Rofiqoh dan Nisfa Nur Azizah adalah mahasiswi aktif di IAIN Kediri. Gadis yang lahir di Pasuruan, akrab disapa Aulia ini tengah menempuh semester lima di program studi Manajamen Pendidikan Islam. Selain menjadi salah satu dema prodi MPI, Aulia juga mengikuti organisasi-organisasi yang ada di kampus. Berbeda dengan Aulia, Azizah yang lahir pada 20 tahun silam, tengah menempuh semester lima di program studi Pendidikan Agama Islam. Hobi menulisnya terus dikembangkan sampai sekarang. Aulia dan Azizah juga termasuk santri Syarif Hidayatullah Cyber Pesantren. Meski keduanya bukan dari jurusan yang sama, tetapi penulis berhasil memberikan karya yang luar biasa.

About author

No comments