SEJARAH DAN PERKEMBANGAN PONDOK PESANTREN GEDONGSARI PADA MASA K.H. ALI MURTADLO DI DESA TEGARON, NGANJUK

0

Kita ketahui dalam kehidupan manusia selama berabad-abad dalam catatan sejarah manusia selalu hidup berkelompok yang biasanya disebut dengan bermasyarakat, dan salah satu contoh hidup bermasyarakat adalah kehidupan yang ada dalam pondok pesantren yang lebih dikenal sebagai lembaga pendidikan agama islam. Dan pesantren juga merupakan lembaga pendidikan swasta yang sangat mandiri dan sejatinya merupakan praktek pendidikan berbasis masyarakat (community based education).

Selain itu pesantren juga berperan dalam bidang sosial keagamaan dan juga berperan dalam memberikan pendidikan moral/etika bagi masyarakat yang sangat memadai. Bahkan pendidikan pesantren juga dapat dikatakan sebagai modal sosial dan bahkan soko guru bagi perkembangan pendidikan Nasional di Indonesia. Karena pendidikan pesantren yang terus berkembang sampai saat ini dengan berbagai ragam  modelnya senantiasa selaras dengan jiwa, semangat, dan kepribadian bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Pada akhirnya, sumber daya manusia yang dilahirkan dari pendidikan pesantren ini secara ideal dapat berperan dalam setiap proses perubahan sosial menuju terwujudnya tatanan kehidupan masyarakat yang berpegang teguh pada nilai dan norma agama.

Keadaan inilah yang mendorong lahir dan berkembangnya Pondok Pesantren Irsyadiyah Gedongsari, Kecamatan Prambon Kabupaten Nganjuk. Pondok pesantren Gedongsari didirikan pada kisaran tahun 1901 oleh Mbah Kiyai Imam Mustajab. Seorang ulama’ yang  berasal dari desa Padangan, Bojonegoro. Mbah Mustajab menghabiskan masa mudanya dengan nyantri di Pondok

Pesantren Langitan, di bawah asuhan KH. Muhammad Soleh selama kurang lebih 20 tahun. Sehari-hari Mbah Mustajab menghabiskan waktunya dengan nderek (khidmah) kepada Mbah Kiai Soleh. Dan tugas beliau adalah memberi makan ternak (angon wedus), mengisi bak mandi Kiyai, mencari ikan di bengawan. Pada intinya, prinsip belajar beliau adalah khidmah: taat, patuh pada apapun yang diperintahkan oleh Kiai.

Kalau kita pernah mendengar kisah dari para guru kita tentang seorang santri Langitan yang diutus sang Kiai membawa kuda dan tidak menaikinya melainkan hanya menuntunnya karena perintah Sang Kiai adalah membawanya saja, maka itulah Mbah Mustajab. Kala itu beliau diutus Mbah Kiai Soleh Langitan untuk menyampaikan surat kepada menantunya yaitu Kiai Soleh Gondanglegi. Dalam perintahnya, Kiai Soleh mengatakan kepada Mbah Mustajab untuk membawa seekor kuda dengan maksud agar perjalanan itu menjadi lebih cepat. Maka, berangkatlah beliau dengan membawa surat yang entah apa isinya itu sambil menuntun kuda tersebut, karena dawuh yang ditangkap Mbah Mustajab hanya “Bawalah Kuda ini”, sama sekali tidak ada perintah untuk menunggangi.

Karena jalan kaki menuntun kuda dari Langitan di Tuban sampai ke Gondanglegi Nganjuk, maka perjalanan Mbah Mustajab pun lama, sehingga Mbah Kiai Soleh Langitan pun bertanya dan ternyata Mbah Mustajab tidak menaiki kuda tersebut.

Sungguh tidak pernah terlintas di benak Mbah Mustajab, bahwa surat yang dibawanya untuk disampaikan kepada KH. Soleh Gondanglegi itu berisi sebuah maklumat yang akan mengubah hidup Mbah Mustajab untuk selamanya. Dalam surat itu, KH Soleh Langitan menyampaikan agar santri yang mengirimkannya (Mbah Mustajab) diambil menantu oleh KH Soleh Gondanglegi. Tentu saja maklumat itu langsung diamini oleh KH Soleh Gondanglegi, mengingat surat itu datang langsung dari KH Soleh Langitan yang tidak lain adalah guru dan juga mertua beliau sendiri.

Mbah Mustajab mendapati kenyataan ini dengan berat hati, bagaimana tidak, sang mertua KH. Soleh Gondanglegi pada waktu itu termasyhur sebagai seorang ulama’ yang ahli dalam bidang ilmu alat dan fiqihnya, sementara Mbah Mustajab, beliau merasa sama sekali tidak memiliki ilmu, selama ini mondoknya hanya digunakan untuk nderek saja.

Hari-hari beliau dijalani dengan penuh keresahan karena menjadi menantu seorang ulama’ besar, sampai pada puncaknya, Allah Swt mempertemukan Mbah Mustajab dengan Nabi Khidzir AS, sejak saat itulah dibuka pintu hati Mbah Mustajab, dimudahkan baginya segala ilmu-ilmu dan karomah yang tak terduga, singkatnya, beliau mendapat ilmu laduni, berkat ketaatannya, kepatuhannya pada Kiai serta sifat tawakkalnya.

Nama Gedongsari diambil dari dua suku kata basa jawa “Gedong” dan “Sari” yang berarti gudang atau tempat penyimpanan bagi inti sari keilmuan agama. Bertahun-tahun pesantren Gedongsari telah memberikan kontribusi yang tak kecil bagi kejayaan agama Islam dengan terus mencetak santri-santri yang mumpuni dalam ilmu agama. Semua itu tetap dilandaskan satu pola dasar yang tidak bias diubah sebagaimana yang pernah dialami sendiri oleh Pendirinya, yaitu ketaatan dan kepatuhan terhadap guru. Sebab hanya dengan khidmah semua ilmu akan dapat diperoleh, barokah akan diturunkan.

Pondok pesantren Gedongsari awalnya hanya berupa angkring (gubuk) yang didirikan di Gedong, Tegaron, Prambon, Nganjuk, salah satu kawasan abangan yang tidak sembarang orang bisa membabat tanah itu. Ini terbukti, setelah pesantren Gedongsari berdiri pertama kali, ketika dikumandangkan adzan dibunyikan pula gong, gamelan, tayuban oleh masyarakat setempat, sehingga hampir-hampir terjadi pertempuran kecil yang setiap waktu menghendaki kesungguhan hati serta kewaspadaan untuk berusaha agar daerah yang penuh dengan pekerjaan maksiat itu kembali menjadi satu desa yang aman,tentram dan damai.

Angkring yang didirikan Mbah Mustajab hanya beberapa meter saja, dibagi dua, menjadi tempat tinggal Mbah Mustajab dan keluarga, dan tempat untuk mengaji para santri yang pada waktu itu baru 30 orang, di antaranya adalah KH. Abdu Jalili dan KH. Abdul Jalal Ngawi.

Semakin lama, karena jumlah santri semakin banyak, maka para santri pun mendirikan angkringan-angkringan baru sebagai tempat tinggal. Namun yang unik, Mbah Mustajab tidak mau memiliki santri yang berjumlah banyakdan hal ini bisa dilihat dari jumlah shof (barisan) pada sholat magrib yang selalu sama sejak dahulu, jumlah santri yang keluar dan masuk akan menggenapi jumlah shof, meski sekarang banyak santri nduduk (tidak domisili di pesantren), namun untuk santri yang bermukim di dalam pesantren jumlahnya akan selalu sama dalam jumlah shof pada sholat magrib. Karena di waktu magrib dapat di pastikan para santri dapat berjamaah semua. Menurut beliau mengurus santri terlalu banyak itu sulit, sehingga setiap kali jumlah santri lebih dari angka itu, maka beliau akan meninggalkannya, karena bagi beliau lebih baik sedikit tapi mudah ditata dan gampang diatur, dari pada banyak tapi susah aturannya.

Keberadaan pondok pesantren Gedongsari sebagai salah satu pusat pembelajaran agama Islam yang digawangi oleh seorang ulama’ besar yang berdiri di tengah perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia, Pondok Gedong pun turut andil dalam peristiwa besar 10 November di Surabaya bersama arek-arek Suroboyo dan Bung Tomo. Kala itu Mbah Mustajab mengirim tujuh santrinya ke Surabaya dengan hanya berbekal bawang merah dan putih yang telah diberi do’a. Dan, Atas izin Allah Swt, dalam kecamuk perang ketujuh santri pilihan tersebut melontarkan bekalnya laksana bom meriam yang sanggup meluluhlantahkan sebagian tentara Sekutu. Seiring perkembangan santri yang semakin banyak, juga berbagai keilmuan yang semakin kompleks, pondok pesantren Gedongsari atas kerja keras santri senior bersama KH. Hayatuddin (Winong-Nganjuk) dan restu dari Mbah Kiai Imam Mustajab, Madrasah Irsyadiyah pun didirikan, agar kegiatan belajar lebih tertata dan sistematis dengan dibentuknya kelas-kelas dengan materi pelajaran kitab yang disesuaikan dengan tingkatan-tingkatan yang ada.

Beliau, kiai Imam Mustajab wafat pada hari rabu legi tanggal 14 Ramadhan 1373 H/1953 M. kepemimpinan pesantren selanjutnya diserahkan kepada putra beliau KH. Imam Asnawi Mustajab. Dibawah kepemimpinan KH. Imam Asnawi, pesantren Gedongsari berkembang pesat, baik secara fisik, organisasi maupun pendidikannya. Bangunan -bangunan pesantren yang asalnya dari tratak di buat permanen atau semi permanen, berbagai macam fasilitas di tambah. Dalam urusan pendidikan, pesantren Gedongsari tidak hanya menggunakan metode sorogan dan wetonan/bandungan tapi juga membuka sistem Madrasah (klasikal) meski dengan manajemen yang sangat sederhana.

KH. Imam Asnawi mengasuh pesantren selama kurang lebih 30 tahun dan banyak sekali upaya-upaya yang di lakukan untuk mengembangkan dan memajukan pesantren Gedongsari selama periode kepemimpinan beliau. Beliau wafat pada bulan jumadil akhir 1983 dan dimakamkan dibelakang mushola PP. Gedongsari.

Periode berikutnya, pesantren Gedongsari diasuh oleh saudara ipar KH. Imam Asnawi yaitu KH. Mudhofir Amin. Dibawah kepemimpinan beliau tidak banyak perubahan-perubahan yang terjadi di pesantren. Perubahan yang terjadi hanyalah seputar penataan manajemen pesantren serta perbaikan sarana dan prasarana pesantren. Diakhiri masa kepemimpinan beliau, pesantren Gedongsari mendirikan sekolah Taman pendidikan Al -Qur’an (TPQ), yaitu pada tahun 1995. Beliau mengasuh pesantren selama 14 tahun, wafat pada tanggal 25 agustus 1997 dan dimakamkan disamping makam KH. Imam Asnawi.

Setelah wafatnya KH. Mudhofir Amin kepemimpinan pondok pesantren Gedongsari diasuh oleh dua Orang, yaitu KH. Ali Murtadlo putra dari KH. Imam Asnawi sebagai pengasuh pondok putra dan KH. Ahmad Muntaha Putra dari KH. Mudhofir Amin sebagai pengasuh pondok putri.

Pondok pesantren Gedongsari adalah salah satu pondok pesantren tertua di kabupaten Nganjuk yang didirikan pada tahun 1902 Masehi memiliki sejarah yang sangat menarik dan unik yang turut serta membantu memperjuangkan kemerdekaan Indonesia melawan penjajah. Para santrinya tidak hanya dari pulau jawa. Banyak juga dari luar jawa seperti Sumatra, Kalimantan, Sulawesi dan masih banyak lagi. Hal ini menunjukkan betapa besar jasa pondok pesantren Gedongsari yang penuh barokah ini dalam mendidik generasi bangsa dan tidak sedikit para alumninya yang menjadi tokoh masyarakat di daerahnya masing-masing hal inilah yang membuktikan keberhasilan pondok pesantren Gedongsari dalam mendidik santrinya. Hal ini jugalah yang menjadikan pondok pesantren Gedongsari tetap eksis sampai sekarang.

Dari kutipan di atas dapat kita pahami bawah pondok pesantren mempunyai peran yang sangat besar khusunya dalam meraih kemerdekaan indonesia dan tidak Cuma berperan meraih kemerdekaan podok pesantren bebr juga merupakan tempat atau wadah guna membentuk insan-insan dan genarasi penerus yang mengerti agam,berakhlak mulia dan dapat meyiarkan islam khusunya di jawa.

Dan dapat kita teladani juga perjuangan para pendiri pondok yang berjuang dari awal sampai sekrang yang penuh pengorbanan dan sifat tawakkalnya para bliau-bliau pendiri guna terbentuknya pondok pesantren gedongsari ini. (EN)

Biografi Penulis

*) INDRA WAHYU DWI SAPUTRA

Fakultas Ushuluddin dan Dakwah Institut Agama Islam Negeri Kediri. Mahasiswi aktif semester tiga program studi Psikologi Islam IAIN Kediri. Bergabung dalam anggota UKM UNIKMOR IAIN Kediri

About author

No comments

SEJUKNYA ISLAM DI BOJONEGORO

Masih terngiang jelas di ingatan, pagi-pagi buta sekerumun orang beramai-ramai di seantero jalan sepetak pinggiran trotoar dan lapangan membawa aneka ragam makanan. Ada yang dipikul, ...