Sungguh, Garis Kemiskinan Bukanlah Penghambat Anak Tuk Merajut Asa

0

Satu minggu yang lalu, tepatnya pada tanggal 23 Juli 2020, bangsa Indonesia memperingati Hari Anak Nasional. Hari di mana topik pembahasan pada sebagian besar media terfokus pada anak. Ya, ini adalah hari yang tepat untuk meneropong lebih dalam kilas balik dunia anak, terutama dalam hal pemenuhan hak anak.

Berbicara mengenai hak anak, tak luput dari peran serta orangtua dalam menjalankan kewajibannya. Anak merupakan generasi penerus bangsa yang harus memperoleh haknya secara penuh, tentu dengan tidak mengesampingkan kewajiban anak. Hak dasar anak yang harus dipenuhi oleh semua orangtua adalah hak untuk mendapatkan kasih sayang dan pendidikan yang layak. Bagaimanapun kondisi orangtua, kedua hak ini tidak boleh diabaikan dan diacuhkan. Dikarenakan ini adalah poin penting guna mencetak generasi bangsa yang cerdas dan berkualitas.

Lantas, bagaimana praktik pemenuhan hak anak dalam kehidupan ini? Apakah semua anak telah mendapatkan haknya secara penuh? Dan apakah para orangtua telah mampu menjalankan kewajibannya untuk memenuhi hak dasar anak? Nyatanya, tidak semua anak memperoleh haknya, dan begitupun orangtua, tidak semua orangtua mampu menjalankan kewajibannya.

Kemudian, yang menjadi pertanyaan selanjutnya yaitu mengapa tidak semua anak bisa mendapatkan hak dasarnya secara penuh? Salah satu sebab yang banyak disampaikan adalah dikarenakan status sosial ekonomi orangtua yang rendah atau sering disebut dengan istilah “hidup dalam garis kemiskinan”.

Kemiskinan, sebuah permasalahan lama yang lagi-lagi menyeruak kala berbicara mengenai hak anak, terutama hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Masalah lama yang tak kunjung usai dan cenderung menimbulkan permasalahan yang kompleks.Kemiskinan yang dihadapi oleh orangtua tak jarang berdampak pada porsi pendidikan dan pola pemberian kasih sayang pada anak. Anak yang tumbuh dalam keluarga yang hidup dalam garis kemiskinan cenderung akan mengabaikan pentingnya pendidikan, meskipun tidak semua begitu, masih banyak anak yang mampu mengutamakan pendidikan meskipun berada pada kondisi tersebut.

Dasar penulis berpendapat seperti di atas adalah karena anak yang hidup dalam garis kemiskinan biasanya sudah dilibatkan dalam persoalan-persoalan yang seharusnya belum dibebankan pada anak usia sekolah. Perubahan struktur, peran, dan tanggung jawab dalam keluarga akibat kemiskinan sangat berpengaruh terhadap  perkembangan anak. Hal ini dikarenakan anak-anak menjadi dipaksa oleh keadaan untuk ikut menopang ekonomi keluarga baik secara langsung maupun tidak langsung. Pelibatan secara langsung yakni dengan mengajak anak untuk bekerja menggunakan tenaga mereka di bidang pekerjaan yang sama dengan orangtua. Sedangkan pelibatan secara tidak langsung adalah dengan membebani anak pekerjaan rumah tangga dikarenakan orangtua siibuk mencari nafkah di luar rumah. Hal-hal inilah yang mengakibatkan sebagian anak menjadi tidak fokus dan cenderung abai pada pendidikan.

Bukan hanya itu, terkadang kesadaran orangtua akan pentingnya pendidikan dan kasih sayang masih kurang. Adanya pemahaman yang keliru mengenai pendidikan yaitu “pendidikan tinggi hanya diperuntukkan untuk orang berpenghasilan tinggi”. Apabila orangtua tidak mampu memberikan pendidikan yang layak, langkah yang diambil adalah menghentikan pendidikan anak dengan alasan keterbatasan biaya. Mindset demikian pada akhirnya akan ikut mempengaruhi pola perilaku dan emosi anak menjadi kurang aktif. Tujuan hidup yang rendah menyebabkan pola pikir yang rendah pula sejalan dengan adanya anggapan bahwa pendidikan dan kehidupan yang layak hanya milik beberapa orang saja. Begitu pula dengan konsep kasih sayang, mereka juga beranggapan bahwa ukuran kasih sayang adalah materi fisik belaka, sehingga orangtua yang tidak mampu memberikan materi yang cukup akan dianggap tidak bisa memberikan kasih sayang pada anak. Lalu, adakah secuil asa bagi anak yang tumbuh dan berkembang di garis kemiskinan?

Dalam sebuah penelitian, disebutkan bahwa perkembangan intelektual anak yang paling cepat terjadi adalah sebelum usia lima tahun, anak juga tidak terlahir dengan kecerdasan yang sudah tetap. Selain itu, anak-anak yang dibesarkan di lingkungan yang tidak mendukung perkembangannya akan cenderung tertinggal dari anak-anak yang dibesarkan di lingkungan yang mendukung kecerdasan dan kaya bacaan. Tahap janin, jenis nutrisi dan perawatan yang diterima sejak lahir membuat perbedaan yang besar dalam keseluruhan perkembangan anak sepanjang masa. Interaksi emosi positif dan pemberian kasih sayang yang kuat menjadi dasar bagi perkembangan emosi anak yang sehat. Pemberian rangsangan selama periode ini penting karena berpengaruh terhadap perkembangan anak dan menjadi pondasi pembelajaran baik di kelas maupun dalam kehidupan di masa mendatang.

Dalam hal di atas, peran keluarga dan lingkungan sosial di mana anak tinggal memiliki peran signifikan dalam mengawal tahapan perkembangan ini. Seperti yang diketahui bahwa orangtua dan orang-orang di sekeliling anak adalah madrasah pertama bagi anak. Jadi, bisa dikatakan bahwa porsi pendidikan yang dimaksud tidak hanya pemberian pendidikan secara akademis tetapi juga secara non akademis. Pendidikan secara akademis bisa diperoleh di lingkungan sekolah formal karena dalam hal ini pemerintah telah mencanangkan program wajib belajar 12 tahun. Sedangkan pendidikan secara non akademis bisa didapatkan dari keluarga dan lingkungan sosial.

Lev Vygotsky dengan teori sosiokulturalnya menyebutkan bahwa perkembangan mental, bahasa, dan sosial anak didukung dan ditingkatkan oleh orang lain lewat interaksi sosial yang dinamis dan interaktif. Menurut Vygotsky, ketika anak berinteraksi dengan orang-orang dewasa di sekitarnya dan bekerja sama dengan teman-temannya, maka proses perkembangan mental, bahasa, dan sosial anak akan bangkit. Bangkitnya proses perkembangan tersebut dapat diperoleh dari proses belajar di lingkungan yang baik dan kondusif secara sosial maupun keagamaan. Dalam hal ini, orangtua diharapkan mampu memberikan kegiatan yang berkualitas dan menyenangkan pada anak. Selain itu, pengembangan moral, aturan etis, hubungan pertemanan yang hangat, dan perhatian serta kepercayaan diri juga akan menunjukkan peningkatan ketika anak ditempatkan dalam ruang yang sama, di mana tidak ada sekat atau perlakuan khusus antara anak yang satu dengan anak yang lainnya. Mengapa hal ini harus dilakukan? Dikarenakan anak mengkonstruksi dan membangun perilaku mereka dari hasil pembelajaran, pengalaman, dan pembuatan keputusan.

Oleh karena itu, para orangtua serta orang dewasa di sekeliling anak harus membimbing dan membantu anak mengkonstruksi dan membangun perilakunya secara positif, produktif, dan sesuai secara sosial. Dalam hal ini ketika anak sedang dalam zona perkembangan proksimal (zone of proximal development/ZPD) dan scaffolding. ZPD adalah zona di mana anak sedang berinteraksi dengan orang dewasa. Dalam zona ini orang dewasa yang kompeten membimbing anak menuju tingkat perilaku yang bertanggung jawab dan interaksi sosial yang lebih tinggi. Sedangkan membimbing perilaku dengan scaffolding adalah membimbing dengan metode-metode informal melalui percakapan, pertanyaan, percontohan, dan dukungan pada anak untuk mempelajari segala hal yang tidak mungkin dipelajari sendiri seperti pelajaran konsep, pengetahuan, dan keterampilan.

Kembali ke pertanyaan awal, jadi, adakah secuil asa bagi anak yang tumbuh dan berkembang di garis kemiskinan? Perlu ditegaskan bahwa anak yang tumbuh dan berkembang dalam garis kemiskinan tetap dapat merajut asa, tetap dapat mendapatkan porsi pendidikan yang layak sekaligus mendapat kasih sayang sebagaimana mestinya. Ini dapat terwujud apabila setiap orangtua menyadari pentingnya peran keluarga bagi pertumbuhan dan perkembangan anak mereka.

Pembangunan pengetahuan dan pengalaman dengan pendekatan keimanan di mana semua anak berserta orang dewasa mau berpartisipasi secara aktif dan responsif harus terus dikembangkan karena pada dasarnya anak yang mendapatkan dukungan mutlak dari lingkungan akan mampu mengubah status sosial ekonomi mereka di kemudian hari. Mereka juga akan mampu menantang praktik-praktik ketidakadilan yang menimpa mereka, mengatasi isu-isu kesehatan dan gizi yang menghambat pertumbuhan dan perkembangan mereka serta mampu menyuarakan pendapat mereka tentang keadilan sosial sesuai dengan yang diamanatkan dalam pembukaan UUD 1945.

Jadi, hidup dalam garis kemiskinan bukanlah penghambat anak tuk merajut asa. Di sini penting sekali membenahi mindset-mindset orangtua yang kurang tepat. Penting sekali untuk membangun kesadaran orangtua akan pentingnya pemenuhan hak dasar anak yaitu hak untuk mendapatkan kasih sayang dan pendidikan yang layak. Selamat Hari Anak Indonesia, Anak Indonesia Bisa. Salam…(EN)

Binti Su’aidah Hanur*

Binti Su’aidah Hanur*

*Binti Su’aidah Hanur, M.Pd; Dosen STAI Badrus Sholeh Purwoasri Kediri (Email: freeda0740@gmail.com)

About author

No comments